CERITA LEGENDA DI BEBERAPA PROVINSI WILAYAH INDONESIA
1 PROVINSI D.I ACEH
Putroe Neng, "Legenda Puteri Bersuami 100"
Kekalahan dalam peperangan di
Kuta Lingke telah mengubah sejarah hidup Putroe Neng, perempuan cantik
dari Negeri Tiongkok. Dari seorang maharani yang ingin menyatukan
sejumlah kerajaan di Pulau Ruja (Sumatera), ia malah menjadi permaisuri
dalam sebuah pernikahan politis.
Pendiri Kerajaan Darud Donya Aceh Darussalam, Sultan Meurah Johan, menjadi suami pertama Putroe Neng yang kemudian juga menjadi lelaki pertama yang meninggal di malam pertama. Tubuh Sultan Meurah Johan ditemukan membiru setelah melewati percintaan malam pertama yang selesai dalam waktu begitu cepat.
Sebagian masyarakat Aceh mendengar kisah Putroe Neng dari penuturan orang tua. Konon Putroe Neng memiliki 100 suami dari kalangan bangsawan Aceh. Setiap suami meninggal pada malam pertama ketika mereka bercinta, karena alat kewanitaan Putroe Neng mengandung racun. Kematian demi kematian tidak menyurutkan niat para lelaki untuk memperistri perempuan itu. Padahal, tidak mudah bagi Putroe Neng untuk menerima pinangan setiap lelaki. Ia memberikan syarat berat seperti mahar yang tinggi atau pembagian wilayah kekuasaan (Ali Akbar, 1990).
Suami terakhir Putroe Neng adalah Syekh Syiah Hudam yang selamat melewati malam pertama dan malam-malam berikutnya. Ia adalah suami ke-100 dari perempuan cantik bermata sipit tersebut. Sebelum bercinta dengan Putroe Neng, Syiah Hudam berhasil mengeluarkan bisa dari alat genital Putroe Neng. Racun tersebut dimasukkan ke dalam bambu dan dipotong menjadi dua bagian. "Satu bagian dibuang ke laut, dan bagian lainnya dibuang ke gunung," tutur penjaga makam Putroe Neng, Cut Hasan.
Konon, Syiah Hudam memiliki mantra penawar racun sehingga ia bisa selamat. Setelah racun tersebut keluar, cahaya kecantikan Putroe Neng meredup. Sampai kematiannya, dia tidak mempunyai keturunan. Sulit mencari referensi tentang Putroe Neng. Sejumlah buku menyebutkan dia bernama asli Nian Nio Liang Khie, seorang laksamana dari China yang datang ke Sumatera untuk menguasai sejumlah kerajaan. Bersama pasukannya, ia berhasil menguasai tiga kerajaan kecil; Indra Patra, Indra Jaya, dan Indra Puri yang kini masuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Besar. Beberapa benteng bekas ketiga kerajaan tersebut masih ada di Aceh Besar sampai sekarang.
Namun, Laksamana Nian Nio kalah ketika hendak menaklukkan Kerajaan Indra Purba yang meminta bantuan kepada Kerajaan Peureulak. Bantuan yang diberikan Kerajaan Peureulak adalah pengiriman tentara yang tergabung dalam Laskar Syiah Hudam pimpinan Syekh Abdullah Kana'an. Jadi, Syiah Hudam sesungguhnya adalah nama angkatan perang yang menjadi nama populer Abdullah Kana'an. Merujuk sejarah, pengiriman bala bantuan itu terjadi pada 1180 Masehi. Bisa disimpulkan pada masa itulah Putroe Neng hidup, tetapi tak diketahui pasti kapan meninggal dan bagaimana sejarahnya sampai makamnya terdapat di Desa Blang Pulo, Lhokseumawe.
Meski tak bisa menunjukkan makamnya, di mata Cut Hasan kematian 99 suami Putroe Neng bukanlah mitos. Ia mengaku mengalami beberapa hal gaib selama menjadi penjaga makam. Ia bermimpi berjumpa dengan Putroe Neng dan dalam mimpi itu diberikan dua keping emas. Paginya, Cut Hasan benar-benar menemukan dua keping emas berbentuk jajaran genjang dengan ukiran di setiap sisinya. Satu keping dipinjam seorang peneliti dan belum dikembalikan. Sementara satu keping lagi masih disimpannya sampai sekarang.
Menurut budayawan Aceh, Syamsuddin Djalil alias Ayah Panton, kisah kematian 99 suami hanya legenda meski nama Putroe Neng memang ada. Menurutnya, kematian itu adalah tamsilan bahwa Putroe Neng sudah membunuh 99 lelaki dalam peperangan di Aceh.
"Sulit ditelusuri dari mana muncul kisah tentang kemaluan Putroe Neng mengandung racun," ujar Syamsuddin Jalil saat ditemui di rumahnya di Kota Pantonlabu, Aceh Utara, Selasa (26/4). Ali Akbar yang banyak menulis buku sejarah Aceh, juga mengakui kisah kematian 99 lelaki itu hanyalah legenda.
Makam Putroe Neng yang terletak di pinggir Jalan Medan-Banda Aceh (trans-Sumatera), memang sarat dengan kisah gaib. Misalnya, ada kisah seorang guru SMA yang meninggal setelah mengambil foto di makam tersebut. Ada juga yang mengaku melihat siluet putih dalam foto tersebut atau foto yang diambil tidak memperlihatkan gambar apa pun. Sayangnya, berbagai kisah gaib itu, plus legenda kematian 99 suami Putroe Neng pada malam pertama, tidak menjadikan makam tersebut menjadi lokasi wisata religi sebagaimana makam Sultan Malikussaleh di Desa Beuringen Kecamata Samudera, Aceh Utara.
Pemerintah Kota Lhokseumawe belum menjadikan makam Putroe Neng sebagai lokasi kunjungan wisata. Suvenir tentang Putroe Neng tidak ada sama sekali. Para pengunjung yang datang ke makamnya hanya sebatas peneliti dan segelintir masyarakat yang pernah mendengar kisah Putroe Neng. Rendahnya kepedulian terhadap makam Putroe Neng, bisa terlihat dari kondisi makam tersebut yang nyaris tak terawat. Di dalam komplek berukuran sekitar 20 x 20 meter tersebut, terdapat 11 makam, termasuk milik Putroe Neng tetapi selebihnya tidak diketahui milik siapa.
Menurut Teungku Taqiyuddin, seorang peneliti yang getol menggali sejarah Kerajaan Samudera Pasai, dari tulisan yang terdapat di batu nisan, diyakini makam-makam tersebut milik ulama syiah. Lantas, benarkah makam yang selama ini diyakini milik Putroe Neng sahih adanya?
Teungku Taqiyuddin mengaku belum mendapatkan jawaban sehingga keyakinan masyarakat tentang kebenaran makam tersebut belum bisa dipatahkan. "Siapa tahu dengan banyaknya penelitian nanti akan terjawab," kata Teungku Taqiyuddin. Menurutnya, bisa jadi karena ada makam Putroe Neng di sana, kemudian berkermbang cerita tentang kematian 99 suami atau bisa saja kisah itu sudah melegenda sejak lama.
Sekitar 200 meter arah selatan makam Putroe Neng, terdapat makam suami ke-100, Syiah Hudam yang terletak di atas bukit perbukitan. Jalan menuju Makam Syiah Hudam sangat tersembunyi, sehingga pengunjung harus bertanya kepada masyarakat setempat karena tidak ada penunjuk jalan. Program Visit Aceh 2011 yang digaungkan Pemerintah Aceh ternyata tidak didukung dengan perbaikan infrastruktur.
Pendiri Kerajaan Darud Donya Aceh Darussalam, Sultan Meurah Johan, menjadi suami pertama Putroe Neng yang kemudian juga menjadi lelaki pertama yang meninggal di malam pertama. Tubuh Sultan Meurah Johan ditemukan membiru setelah melewati percintaan malam pertama yang selesai dalam waktu begitu cepat.
Sebagian masyarakat Aceh mendengar kisah Putroe Neng dari penuturan orang tua. Konon Putroe Neng memiliki 100 suami dari kalangan bangsawan Aceh. Setiap suami meninggal pada malam pertama ketika mereka bercinta, karena alat kewanitaan Putroe Neng mengandung racun. Kematian demi kematian tidak menyurutkan niat para lelaki untuk memperistri perempuan itu. Padahal, tidak mudah bagi Putroe Neng untuk menerima pinangan setiap lelaki. Ia memberikan syarat berat seperti mahar yang tinggi atau pembagian wilayah kekuasaan (Ali Akbar, 1990).
Suami terakhir Putroe Neng adalah Syekh Syiah Hudam yang selamat melewati malam pertama dan malam-malam berikutnya. Ia adalah suami ke-100 dari perempuan cantik bermata sipit tersebut. Sebelum bercinta dengan Putroe Neng, Syiah Hudam berhasil mengeluarkan bisa dari alat genital Putroe Neng. Racun tersebut dimasukkan ke dalam bambu dan dipotong menjadi dua bagian. "Satu bagian dibuang ke laut, dan bagian lainnya dibuang ke gunung," tutur penjaga makam Putroe Neng, Cut Hasan.
Konon, Syiah Hudam memiliki mantra penawar racun sehingga ia bisa selamat. Setelah racun tersebut keluar, cahaya kecantikan Putroe Neng meredup. Sampai kematiannya, dia tidak mempunyai keturunan. Sulit mencari referensi tentang Putroe Neng. Sejumlah buku menyebutkan dia bernama asli Nian Nio Liang Khie, seorang laksamana dari China yang datang ke Sumatera untuk menguasai sejumlah kerajaan. Bersama pasukannya, ia berhasil menguasai tiga kerajaan kecil; Indra Patra, Indra Jaya, dan Indra Puri yang kini masuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Besar. Beberapa benteng bekas ketiga kerajaan tersebut masih ada di Aceh Besar sampai sekarang.
Namun, Laksamana Nian Nio kalah ketika hendak menaklukkan Kerajaan Indra Purba yang meminta bantuan kepada Kerajaan Peureulak. Bantuan yang diberikan Kerajaan Peureulak adalah pengiriman tentara yang tergabung dalam Laskar Syiah Hudam pimpinan Syekh Abdullah Kana'an. Jadi, Syiah Hudam sesungguhnya adalah nama angkatan perang yang menjadi nama populer Abdullah Kana'an. Merujuk sejarah, pengiriman bala bantuan itu terjadi pada 1180 Masehi. Bisa disimpulkan pada masa itulah Putroe Neng hidup, tetapi tak diketahui pasti kapan meninggal dan bagaimana sejarahnya sampai makamnya terdapat di Desa Blang Pulo, Lhokseumawe.
Meski tak bisa menunjukkan makamnya, di mata Cut Hasan kematian 99 suami Putroe Neng bukanlah mitos. Ia mengaku mengalami beberapa hal gaib selama menjadi penjaga makam. Ia bermimpi berjumpa dengan Putroe Neng dan dalam mimpi itu diberikan dua keping emas. Paginya, Cut Hasan benar-benar menemukan dua keping emas berbentuk jajaran genjang dengan ukiran di setiap sisinya. Satu keping dipinjam seorang peneliti dan belum dikembalikan. Sementara satu keping lagi masih disimpannya sampai sekarang.
Menurut budayawan Aceh, Syamsuddin Djalil alias Ayah Panton, kisah kematian 99 suami hanya legenda meski nama Putroe Neng memang ada. Menurutnya, kematian itu adalah tamsilan bahwa Putroe Neng sudah membunuh 99 lelaki dalam peperangan di Aceh.
"Sulit ditelusuri dari mana muncul kisah tentang kemaluan Putroe Neng mengandung racun," ujar Syamsuddin Jalil saat ditemui di rumahnya di Kota Pantonlabu, Aceh Utara, Selasa (26/4). Ali Akbar yang banyak menulis buku sejarah Aceh, juga mengakui kisah kematian 99 lelaki itu hanyalah legenda.
Makam Putroe Neng yang terletak di pinggir Jalan Medan-Banda Aceh (trans-Sumatera), memang sarat dengan kisah gaib. Misalnya, ada kisah seorang guru SMA yang meninggal setelah mengambil foto di makam tersebut. Ada juga yang mengaku melihat siluet putih dalam foto tersebut atau foto yang diambil tidak memperlihatkan gambar apa pun. Sayangnya, berbagai kisah gaib itu, plus legenda kematian 99 suami Putroe Neng pada malam pertama, tidak menjadikan makam tersebut menjadi lokasi wisata religi sebagaimana makam Sultan Malikussaleh di Desa Beuringen Kecamata Samudera, Aceh Utara.
Pemerintah Kota Lhokseumawe belum menjadikan makam Putroe Neng sebagai lokasi kunjungan wisata. Suvenir tentang Putroe Neng tidak ada sama sekali. Para pengunjung yang datang ke makamnya hanya sebatas peneliti dan segelintir masyarakat yang pernah mendengar kisah Putroe Neng. Rendahnya kepedulian terhadap makam Putroe Neng, bisa terlihat dari kondisi makam tersebut yang nyaris tak terawat. Di dalam komplek berukuran sekitar 20 x 20 meter tersebut, terdapat 11 makam, termasuk milik Putroe Neng tetapi selebihnya tidak diketahui milik siapa.
Menurut Teungku Taqiyuddin, seorang peneliti yang getol menggali sejarah Kerajaan Samudera Pasai, dari tulisan yang terdapat di batu nisan, diyakini makam-makam tersebut milik ulama syiah. Lantas, benarkah makam yang selama ini diyakini milik Putroe Neng sahih adanya?
Teungku Taqiyuddin mengaku belum mendapatkan jawaban sehingga keyakinan masyarakat tentang kebenaran makam tersebut belum bisa dipatahkan. "Siapa tahu dengan banyaknya penelitian nanti akan terjawab," kata Teungku Taqiyuddin. Menurutnya, bisa jadi karena ada makam Putroe Neng di sana, kemudian berkermbang cerita tentang kematian 99 suami atau bisa saja kisah itu sudah melegenda sejak lama.
Sekitar 200 meter arah selatan makam Putroe Neng, terdapat makam suami ke-100, Syiah Hudam yang terletak di atas bukit perbukitan. Jalan menuju Makam Syiah Hudam sangat tersembunyi, sehingga pengunjung harus bertanya kepada masyarakat setempat karena tidak ada penunjuk jalan. Program Visit Aceh 2011 yang digaungkan Pemerintah Aceh ternyata tidak didukung dengan perbaikan infrastruktur.
Dongeng Aceh : Banta Berensyah
Banta Berensyah adalah seorang anak laki-laki yatim
dan miskin. Ia sangat rajin bekerja dan selalu bersabar dalam
menghadapi berbagai hinaan dari pamannya yang bernama Jakub. Berkat
kerja keras dan kesabarannya menerima hinaan tersebut, ia berhasil
menikah dengan seorang putri raja yang cantik jelita dan dinobatkan
menjadi raja. Bagaimana kisahnya? Ikuti cerita Banta Berensyah
berikut ini!
* * *
![]() |
| Banta Berensyah |
Alkisah, di sebuah dusun
terpencil di daerah Aceh, hiduplah seorang janda bersama seorang anak
laki-lakinya yang bernama Banta Berensyah. Banta Berensyah seorang anak
yang rajin dan mahir bermain suling. Kedua ibu dan anak itu tinggal di
sebuah gubuk bambu yang beratapkan ilalang dan beralaskan dedaunan
kering dengan kondisi hampir roboh. Kala hujan turun, air dengan
leluasa masuk ke dalamnya. Bangunan gubuk itu benar-benar tidak layak
huni lagi. Namun apa hendak dibuat, jangankan biaya untuk memperbaiki
gubuk itu, untuk makan sehari-hari pun mereka kesulitan.
Untuk bertahan hidup,
ibu dan anak itu menampi sekam di sebuah kincir padi milik saudaranya
yang bernama Jakub. Jakub adalah saudagar kaya di dusun itu. Namun, ia
terkenal sangat kikir, loba, dan tamak. Segala perbuatannya selalu
diperhitungkan untuk mendapatkan keuntungan sendiri. Terkadang ia hanya
mengupahi ibu Banta Berensyah dengan segenggam atau dua genggam beras.
Beras itu hanya cukup dimakan sehari oleh janda itu bersama anaknya.
Pada suatu hari, janda
itu berangkat sendirian ke tempat kincir padi tanpa ditemani Banta
Berensyah, karena sedang sakit. Betapa kecewanya ia saat tiba di tempat
itu. Tak seorang pun yang menumbuk padi. Dengan begitu, tentu ia tidak
dapat menampi sekam dan memperoleh upah beras. Dengan perasaan kecewa
dan sedih, perempuan paruh baya itu kembali ke gubuknya. Setibanya di
gubuk, ia langsung menghampiri anak semata wayangnya yang sedang
terbaring lemas. Wajah anak itu tampak pucat dan tubuhnya menggigil,
karena sejak pagi perutnya belum terisi sedikit pun makanan.
“Ibu...! Banta lapar,”
rengek Banta Berensyah.
Janda itu hanya terdiam sambil menatap
lembut anaknya. Sebenarnya, hati kecilnya teriris-iris mendengar
rengekan putranya itu. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa, karena tidak ada sama sekali
makanan yang tersisa. Hanya ada segelas air putih yang berada di
samping anaknya. Dengan perlahan, ia meraih gelas itu dan
mengulurkannya ke mulut Banta Berensyah. Seteguk demi seteguk Banta
Berensyah meminum air dari gelas itu sebagai pengganti makanan untuk
menghilangkan rasa laparnya. Setelah meminum air itu, Banta merasa
tubuhnya sedikit mendapat tambahan tenaga. Dengan penuh kasih sayang, ia
menatap wajah ibunya. Lalu, perlahan-lahan ia bangkit dari tidurnya
seraya mengusap air mata bening yang keluar dari kelopak mata ibunya.
“Kenapa ibu menangis?”
tanya Banta dengan suara pelan.
Mulut perempuan paruh baya itu belum bisa
berucap apa-apa. Dengan mata berkaca-kaca, ia hanya menghela nafas
panjang. Banta pun menatap lebih dalam ke arah mata ibunya. Sebenarnya,
ia mengerti alasan kenapa ibunya menangis.
“Bu! Banta tahu mengapa
Ibu meneteskan air mata. Ibu menangis karena sedih tidak memperoleh upah
hari ini,” ungkap Banta.
“Sudahlah, Bu! Banta tahu, Ibu sudah
berusaha keras mencari nafkah agar kita bisa makan. Barangkali nasib
baik belum berpihak kepada kita,” bujuknya.
Mendengar ucapan Banta
Berensyah, perempuan paruh baya itu tersentak. Ia tidak pernah mengira
sebelumnya jika anak semata wayangnya, yang selama ini dianggapnya
masih kecil itu, ternyata pikirannya sudah cukup dewasa. Dengan
perasaan bahagia, ia merangkul tubuh putranya sambil meneteskan air mata. Perasaan bahagia itu
seolah-olah telah menghapus segala kepedihan dan kelelahan batin yang
selama ini membebani hidupnya.
“Banta, Anakku! Ibu bangga sekali mempunyai anak
sepertimu. Ibu sangat sayang kepadamu, Anakku,” ucap Ibu Banta dengan
perasaan haru.
Kasih sayang dan perhatian ibunya itu benar-benar memberi
semangat baru kepada Banta Berensyah. Tubuhnya yang lemas, tiba-tiba
kembali bertenaga. Ia kemudian menatap wajah ibunya yang tampak pucat.
Ia sadar bahwa saat ini ibunya pasti sedang lapar. Oleh karena itu, ia
meminta izin kepada ibunya hendak pergi ke rumah pamannya, Jakub, untuk
meminta beras. Namun, ibunya mencegahnya, karena ia telah memahami
perangai saudaranya yang kikir itu.
“Jangan, Anakku! Bukankah kamu tahu sendiri
kalau pamanmu itu sangat perhitungan. Ia tentu tidak akan memberimu
beras sebelum kamu bekerja,” ujar Ibu Banta.
“Banta mengerti, Bu!
Tapi, apa salahnya jika kita mencobanya dulu. Barangkali paman akan
merasa iba melihat keadaan kita,” kata Banta Berensyah.
Berkali-kali ibunya
mencegahnya, namun Banta Berensyah tetap bersikeras ingin pergi ke
rumah pamannya. Akhirnya, perempuan yang telah melahirkannya itu pun
memberi izin. Maka berangkatlah Banta Berensyah ke rumah pamannya. Saat
ia masuk ke pekarangan rumah, tiba-tiba terdengar suara keras
membentaknya. Suara itu tak lain adalah suara pamannya.
“Hai, anak orang miskin!
Jangan mengemis di sini!” hardik saudagar kaya itu.
“Paman, kasihanilah kami!
Berikanlah kami segenggam beras, kami lapar!” iba Banta Berensyah.
“Ah, persetan dengan
keadaanmu itu. Kalian lapar atau mati sekalian pun, aku tidak perduli!”
saudagar itu kembali menghardiknya dengan kata-kata yang lebih kasar
lagi.
Betapa
kecewa dan sakitnya hati Banta Berensyah. Bukannya beras yang diperoleh
dari pamannya, melainkan cacian dan makian. Ia pun pulang ke rumahnya
dengan perasaan sedih dan kesal. Tak terasa, air matanya menetes
membasahi kedua pipinya.
Dalam perjalanan pulang, Banta Berensyah mendengar
kabar dari seorang warga bahwa raja di sebuah negeri yang letaknya
tidak berapa jauh dari dusunnya akan mengadakan sayembara. Raja negeri
itu mempunyai seorang putri yang cantik jelita nan rupawan. Ia bagaikan
bidadari yang menghimpun semua pesona lahir dan batin. Kulitnya sangat
halus, putih, dan bersih. Saking putihnya, kulit putri itu seolah-olah
tembus pandang. Jika ia menelan makanan, seolah-olah makanan itu
tampak lewat ditenggorokannya. Itulah sebabnya ia diberi nama Putri
Terus Mata. Setiap pemuda yang melihat kecantikannya pasti akan
tergelitik hasratnya untuk mempersuntingnya. Sudah banyak pangeran yang
datang meminangnya, namun belum satu pun pinangan yang diterima. Putri
Terus Mata akan menerima lamaran bagi siapa saja yang sanggup
mencarikannya pakaian yang terbuat dari emas dan suasa.
Mendengar kabar itu,
Banta Berensyah timbul keinginannya untuk mengandu untung. Ia berharap
dengan menikah dengan sang Putri, hidupnya akan menjadi lebih baik.
Siapa tahu ia bernasib baik, pikirnya. Ia pun bergegas pulang ke
gubuknya untuk menemui ibunya. Setibanya di gubuk, ia langsung duduk di
dekat ibunya. Sambil mendekatkan wajahnya yang sedikit pucat karena
lapar, Banta Berensyah menyampaikan perihal hasratnya mengikuti
sayembara tersebut kepada ibunya. Ia berusaha membujuk ibunya agar
keinginannya dikabulkan.
“Bu! Banta sangat sayang
dan ingin terus hidup di samping ibu. Ibu telah berusaha memberikan
yang terbaik untuk Banta. Kini Banta hampir beranjak dewasa. Saatnya
Banta harus bekerja keras memberikan yang terbaik untuk Ibu. Jika Ibu
merestui niat tulus ini, izinkanlah Banta merantau untuk mengubah nasib
hidup kita!” pinta Banta Berensyah.
Perempuan paruh baya itu tak mampu lagi
menyembunyikan kekagumannya kepada anak semata wayangnya itu. Ia pun
memeluk erat Banta dengan penuh kasih sayang.
“Banta, Anakku! Kamu
adalah anak yang berbakti kepada orangtua. Jika itu sudah menjadi
tekadmu, Ibu mengizinkanmu walaupun dengan berat hati harus berpisah
denganmu,” kata perempuan paruh baya itu.
“Tapi, bagaimana kamu
bisa merantau ke negeri lain, Anakku? Apa bekalmu di perjalanan nanti?
Jangankan untuk ongkos kapal dan bekal, untuk makan sehari-hari pun
kita tidak punya,” tambahnya.
“Ibu tidak perlu memikirkan masalah itu. Cukup doa dan
restu Ibu menyertai Banta,” kata Banta Berensyah.
Setelah mendapat restu
dari ibunya, Banta Berensyah pun pergi ke sebuah tempat yang sepi untuk
memohon petunjuk kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Setelah semalam suntuk
berdoa dengan penuh khusyuk, akhirnya ia pun mendapat petunjuk agar
membawa sehelai daun talas dan suling miliknya ke perantauan. Daun
talas itu akan ia gunakan untuk mengarungi laut luas menuju ke tempat
yang akan ditujunya. Sedangkan suling itu akan ia gunakan untuk
menghibur para tukang tenun untuk membayar biaya kain emas dan suasa
yang dia perlukan.
Keesokan harinya, usai berpamitan kepada ibunya, Banta Berensyah
pun pergi ke rumah pamannya, Jakub. Ia bermaksud meminta tumpangan di
kapal pamannya yang akan berlayar ke negeri lain. Setibanya di sana, ia
kembali dibentak oleh pamannya.
“Ada apa lagi kamu kemari, hai anak malas!” seru sang
Paman.
“Paman!
Bolehkah Ananda ikut berlayar sampai ke tengah laut?” pinta Banta
Berensyah.
Jakub
tersentak mendengar permintaan aneh dari Banta Berensyah. Ia berpikir
bahwa kemanakannya itu akan bunuh diri di tengah laut. Dengan senang
hati, ia pun mengizinkannya. Ia merasa hidupnya akan aman jika anak itu
telah mati, karena tidak akan lagi datang meminta-minta kepadanya.
Akhirnya, Banta Berensyah pun ikut berlayar bersama pamannya. Begitu
kapal yang mereka tumpangi tiba di tengah-tengah samudra, Banta meminta
kepada pamannya agar menurunkannya dari kapal.
“Paman! Perjalanan Nanda
bersama Paman cukup sampai di sini. Tolong turunkan Nanda dari kapal
ini!” pinta Banta Betensyah.
Saudagar kaya itu pun segera memerintahkan anak
buahnya untuk menurunkan Banta ke laut. Namun sebelum diturunkan, Banta
mengeluarkan lipatan daun talas yang diselempitkan di balik
pakaiannya. Kemudian ia membuka lipatan daun talas itu seraya duduk
bersila di atasnya. Melihat kelakuan Banta itu, Jakub menertawainya.
“Ha... ha... ha...! Dasar
anak bodoh!” hardik saudagar kaya itu.
“Pengawal! Turunkan anak ini dari kapal!
Biarkan saja dia mati dimakan ikan besar!” serunya.
Namun, betapa
terkejutnya saudagar kaya itu dan para anak buahnya setelah menurunkan
Banta Berensyah ke laut. Ternyata, sehelai daun talas itu mampu menahan
tubuh Banta Berensyah di atas air. Dengan bantuan angin, daun talas
itu membawa Banta menuju ke arah barat, sedangkan pamannya berlayar
menuju ke arah utara.
Setelah berhari-hari terombang-ambing di atas daun talas
dihempas gelombang samudra, Banta Berensyah tiba di sebuah pulau. Saat
pertama kali menginjakkan kaki di pulau itu, ia terkagum-kagum
menyaksikan pemandangan yang sangat indah dan memesona. Hampir di
setiap halaman rumah penduduk terbentang kain tenunan dengan berbagai
motif dan warna sedang dijemur. Rupanya, hampir seluruh penduduk di
pulau itu adalah tukang tenun.
Banta pun mampir ke salah satu rumah penduduk untuk
menanyakan kain emas dan suasa yang sedang dicarinya. Namun, penghuni
rumah itu tidak memiliki jenis kain tersebut. Ia pun pindah ke rumah
tukang tenun di sebelahnya, dan ternyata si pemilik rumah itu juga
tidak memilikinya. Berhari-hari ia berkeliling kampung dan memasuki
rumah penduduk satu persatu, namun kain yang dicarinya belum juga ia
temukan. Tinggal satu rumah lagi yang belum ia masuki, yaitu rumah
kepala kampung yang juga tukang tenun.
“Tok... Tok... Tok.. ! Permisi, Tuan!” seru
Banta Berensyah setelah mengetuk pintu rumah kepala kampung itu.
Beberapa saat kemudian,
seorang laki-laki paruh baya membuka pintu dan mempersilahkannya masuk
ke dalam rumah.
“Ada yang bisa kubantu, Anak Muda?” tanya kampung itu bertanya.
Setelah memperkenalkan
diri dan menceritakan asal-usulnya, Banta pun menyampaikan maksud
kedatangannya.
“Maaf, Tuan! Kedatangan saya kemari ingin mencari kain tenun
yang terbuat dari emas dan suasa. Jika Tuan memilikinya, bolehkah saya
membelinya?” pinta Banta Berensyah.
Kepala kampung itu tersentak kaget mendengar
permintaan Banta, apalagi setelah melihat penampilan Banta yang sangat
sederhana itu.
“Hai, Banta! Dengan apa kamu bisa membayar kain emas dan suasa
itu? Apakah kamu mempunyai uang yang cukup untuk membayarnya?”
“Maaf, Tuan! Saya memang
tidak mampu membayarnya dengan uang. Tapi, jika Tuan berkenan,
bolehkah saya membayarnya dengan lagu?” pinta Banta Berensyah seraya
mengeluarkan sulingnya.
Melihat keteguhan hati Banta Berensyah hendak memiliki
kain tenun tersebut, kepala kampung itu kembali bertanya kepadanya.
“Banta! Kalau boleh saya
tahu, kenapa kamu sangat menginginkan kain itu?”
Banta pun menceritakan
alasannya sehingga ia harus berjuang untuk mendapatkan kain tersebut.
Karena iba mendengar cerita Banta, akhirnya kepala kampung itu memenuhi
permintaannya. Dengan keahliannya, Banta pun memainkan sulingnya
dengan lagu-lagu yang merdu. Kepala kampung itu benar-benar terbuai
menikmati senandung lagu yang dibawakan Banta. Setelah puas
menikmatinya, ia pun memberikan kain emas dan suasa miliknya kepada
Banta.
“Kamu
sangat mahir bermain suling, Banta! Kamu pantas mendapatkan kain emas
dan suasa ini,” ujar kepala kampung itu.
“Terima kasih, Tuan! Banta sangat berhutang
budi kepada Tuan. Banta akan selalu mengingat semua kebaikan hati Tuan,”
kata Banta.
Setelah mendapatkan kain emas dan suasa tersebut, Banta pun
meninggalkan pulau itu. Ia berlayar mengarungi lautan luas menuju ke
kampung halamannya dengan menggunakan daun talas saktinya. Hati anak
muda itu sangat gembira. Ia tidak sabar lagi ingin menyampaikan berita
gembira itu kepada ibunya dan segera mempersembahkan kain emas dan
suasa itu kepada Putri Terus Mata.
Namun, nasib malang menimpa Banta. Ketika sampai di
tengah laut, ia bertemu dan ikut dengan kapal Jakub yang baru saja
pulang berlayar dari negeri lain. Saat ia berada di atas kapal itu,
kain emas dan suasa yang diperolehnya dengan susah payah dirampas oleh
Jakub. Setelah kainnya dirampas, ia dibuang ke laut. Dengan perasaan
bangga, Jakub membawa pulang kain tersebut untuk mempersunting Putri
Terus Mata.
Sementara itu, Banta yang hanyut terbawa arus gelombang laut
terdampar di sebuah pantai dan ditemukan oleh sepasang suami-istri yang
sedang mencari kerang. Sepasang suami-istri itu pun membawanya pulang
dan mengangkatnya sebagai anak. Setelah beberapa lama tinggal bersama
kedua orang tua angkatnya tersebut, Banta pun memohon diri untuk
kembali ke kampung halamannya menemui ibunya dengan menggunakan daun
talas saktinya. Setiba di gubuknya, ia pun disambut oleh ibunya dengan
perasaan suka-cita. Kemudian, Banta pun menceritakan semua kejadian
yang telah dialaminya.
“Maafkan Banta, Bu! Sebenarnya Banta telah berhasil mendapatkan
kain emas dan suasa itu, tetapi Paman Jakub merampasnya,” Banta
bercerita kepada ibunya dengan perasaan kecewa.
“Sudahlah, Anakku! Ibu
mengerti perasaanmu. Barangkali belum nasibmu mempersunting putri raja,”
ujar Ibunya.
“Tapi, Bu! Banta harus mendapatkan kembali kain emas dan suasa
itu dari Paman. Kain itu milik Banta,” kata Banta dengan tekad keras.
“Semuanya sudah
terlambat, Anakku!” sahut ibunya.
“Apa maksud Ibu berkata begitu?” tanya Banta
penasaran.
“Ketahuilah, Anakku! Pamanmu memang sungguh beruntung. Saat ini,
pesta perkawinannya dengan putri raja sedang dilangsungkan di istana,”
ungkap ibunya.
Tanpa berpikir panjang, Banta segera berpamitan kepada ibunya
lalu bergegas menuju ke tempat pesta itu dilaksanakan. Namun, setibanya
di kerumunan pesta yang berlangsung meriah itu, Banta tidak dapat
berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai bukti untuk menunjukkan kepada raja
dan sang Putri bahwa kain emas dan suasa yang dipersembahkan Jakub itu
adalah miliknya. Sejenak, ia menengadahkan kedua tangannya berdoa
meminta pertolongan kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Begitu ia selesai
berdoa, tiba-tiba datanglah seekor burung elang terbang berputar-putar
di atas keramaian pesta sambil berbunyi.
“Klik.. klik... klik...
kain emas dan suasa itu milik Banta Berensyah...!!! Klik... klik..
klik... kain emas dan suasa itu milik Banta Berensyah...!!!” demikian
bunyi elang itu berulang-ulang.
Mendengar bunyi elang itu, seisi istana menjadi
gempar. Suasana pesta yang meriah itu seketika menjadi hening. Bunyi
elang itu pun semakin jelas terdengar. Akhirnya, Raja dan Putri Terus
Mata menyadari bahwa Jakub adalah orang serakah yang telah merampas
milik orang lain. Sementara itu Jakub yang sedang di pelaminan mulai
gelisah dan wajahnya pucat. Karena tidak tahan lagi menahan rasa malu
dan takut mendapat hukuman dari Raja, Jakub melarikan diri melalui
jendela. Namun, saat akan meloncat, kakinya tersandung di jendela
sehingga ia pun jatuh tersungkur ke tanah hingga tewas seketika.
Setelah peristiwa itu,
Banta Berensyah pun dinikahkan dengan Putri Terus Mata. Pesta
pernikahan mereka dilangsungkan selama tujuh hari tujuh malam dengan
sangat meriah. Tidak berapa lama setelah mereka menikah, Raja yang
merasa dirinya sudah tua menyerahkan jabatannya kepada Banta Berensyah.
Banta Berensyah pun mengajak ibunya untuk tinggal bersamanya di
istana. Akhirnya, mereka pun hidup berbahagia bersama seluruh keluarga
istana.
* * *
Demikian cerita dongeng Banta Berensyah dari daerah
Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia. Sedikitnya ada dua pelajaran
penting yang dapat dipetik dari kisah di atas. Pertama, orang
yang senantiasa berusaha dan bekerja keras, pada akhirnya akan
memperoleh keberhasilan. Sebagaimana ditunjukkan oleh perilaku Banta
Berensyah, berkat kerja keras dan kesabarannya, ia berhasil
mempersunting putri raja dan menjadi seorang raja. Dikatakan dalam
tunjuk ajar Melayu:
wahai ananda cahaya mata,
rajin dan tekun dalam bekerja
penat dan letih usah dikira
supaya kelak hidupmu sejahtera
Pelajaran kedua yang dapat dipetik dari cerita di
atas adalah bahwa orang kaya yang kikir dan serakah seperti Jakub, pada
akhirnya akan mendapat balasan yang setimpal. Ia tewas akibat
keserakahannya. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
SUMBER : http://leser-aceh.blogspot.com/2012/03/dongeng-aceh-banta-berensyah.html
2 PROVINSI BALI
Legenda rakyat Bali : Putri Ayu
Pada zaman dahulu, ratusan tahun yang lalu, Raja Surakarta mempunyai empat orang anak. Keempat anak itu selalu tinggal di dalam Istana. Pada suatu hari ketika mereka sedang bercengkrama di Tamansari, mereka mencium bau harum, bau harum aneh yang sama sekali belum pernah dicium selama hidupnya. Mereka amat tertarik akan bau itu sehingga ingin mencari sumbernya.
Mereka berjalan ke arah timur, menyusuri pantai utara.
Mereka terus berjalan kea arah timur, bahkan sampai menyebrangi pulau Bali. Mula-mula mereka menginjak perbatasan pulau Bali sebelah timur, yaitu antara desa-desa Culik Karangasem dan Buleleng. Disini keempat putra raja itu mencium bau yang lebih harum lagi. Bau harum itu makin bertambah ketika mereka tiba di daerah Batur.
Mereka berjalan terus tanpa menghiraukan rintangan dan halangan alam. Tentu saja mereka keluar masuk hutan belantara yang amat lebat dan susah dilalui. Harus berkelahi dengan binatang buas, seperti harimau dan ular.
Setibamya di kaki selatan Gunung Batur, putri Bungsu memutuskan untuk berdiam di Pura Batur di lereng gunung Batur.
“Aku senang melihat daerah ini” kata Putri Bungsu. “Pemandangan alamnya sungguh mempesona. Aku ingin tetap tinggal disini. Aku tidak mau meneruskan perjalananku Kanda. Izinkan aku!”
“Kalau memang itu kehendakmu, Dinda, silahkan engkau menetap di sini,” Jawab kakaknya yang tertua.
Kemudian putrid itu bergelar sebagai seorang Dewi, Ratu ayu Mas Maketeng namanya.
Ketiga saudara laki-lakinya melanjutkan perjalanan.
Kini mereka menyusuri tepi Danau Batur. Ketika mereka tiba di suatu tempat yang datar di sebelah barat daya danau, mereka mendengar suara kicauan seekor burung. Karena girangnya mendengar suara burung, saudara yang termuda berteriak-teriak.
“Hai burung bagus! Aku akan menangkapmu!”
Burung itu hinggap di dahan pohon yang rendah, namun ketika hendak di tangkap, tiba-tiba burung itu terbang tinggi.
Si adik berteriak-teriak memanggil si burung itu.
Kelakuannya membuat kakaknya yang tertua merasa malu dan geram lalu si kakak menghkumnya.
“Kau jangan ikut mengembara lagi, aku tidak suka melihat tingkah lakumu,” kata kakak yang tertu. “Engkau tidak pantas beserta kami”.
“Tidak…..” Aku harus ikut! Aku ingin terus mengembara, ingin tahu asal bau harum itu,” Jawab Adiknya sambil terus merengek minta ikut.
Kemudian kakaknya menyepak adiknya sehingga terjatuh bersila.
Setelah meninggalkan adikmnya yang berupa patung, kedua putra raja itu meneruskan pengembaraan mereka, menyusuri tepi danau Batur sebelah timur.
Ketika mereka tiba di suatu daerah lain, mereka menemukan dua orang wanita. Seorang diantaranya sedang mencara kutu di kepala yang lainnya.
Putra kedua merasa senang dengan kedua perempuan itu. sebab sudah lama mereka tidak bertemu dengan manusia.
Kerena girang bertemu manusia, putra kedua menyapa kedua wanita itu. perbuatan adiknya ini menimbulkan menimbulkan rasa tidak suka kakaknya.
“Engkau jangan ikut lagi” bentak kakaknya. “Perbuatanmu mengecewakan hatiku. Tidak pantas!”
“Aku ingin ikut terus. Aku tidak mau ditinggal sendiri disini. Tidak!” Rengek adiknya.
Akan tetapi si adik terus merengek, tetap ingin ikut terus. Akhirnya si kakak sangat marah lalu di sepaklah adiknya. Oleh karena sepakan yang keras itu, adiknya terjatuhtertelungkup. Dalam keadaan begitu si kakak meninggalkan adiknya dengan hati yang penuh kemarahan.
Setelah menimnggalkan adik-adiknya di desa-desa itu, putra sulu melanjutkan perjalanan kea rah utara, menyusuri pinggir timur Danau Batur yang amat curam. Akhirnya ia tiba di suatu daratan lagi.
Pada saat itu ia merasa kelelahan karena barusan menuruni tebing yang curam.
Ia ingin beristirahat, berteduh dibawah pohon yang rindang.
Namun niat beristirahat itu diurungkan. Sebab bau harum aneh yang mengusik jiwanya di tanah Jawa kini semakin kuat semerbaknya.
Ia merasa penasaran, lalu cepat berdiri dan melangkah mendekati seebuah pohon besar yang sangat menarimk perhatiannya.
Disana ia menemukan seorang gadis cantik yang sangat mempesona hatinya. Gadis itu sedang bersimpuh seorang diri di bawah pohon Taru Menyan.
Sementara bau harum semakin kuat dan seakan bergulung-gulung di tempat itu. ternyata pohon itulah yang menjadi sumber bau harum yang dicarinya selama ini.
Putri sulung itu terpana melihat gadis cantik yang bagaikan bidadari. Ia mengira gadis itu adalah seorang dewi, ia khawatir jika dewi itu segera terbang ke langit, maka cepat dihampirinya.
Bahkan lalu diperluknya sang dewi erat-erat. Tentu saja si gadis merasa sangat malu diperlakukan demikian, namun karena pada dasarnya ia merasa suka kepada putra sulung maka dia diam saja, dan memaafkan perbuatan pemuda itu.
“Wahai dewi jelita. Siapakah namamu? Tanya putra sulung. “Engkau ini manusia atau Bidadarikah?”
“Tuan, aku ini adalah manusia biasa. Jika tuan memang menyukai aku, lamarlah aku. Aku masih mempunyai kakak sebagai wakil dari orang tuaku.”
Kemudian ia menghadap kakak sang dewi untuk melamar dewi yang cantik itu. “Aku terima lamaranmu. Boleh adikku engkau jadikan isri asal engkau mau memenuhi syarat-syarat,” kata Kakak sang Dewi.
“Katkan padaku, syarat-syarat apasaja yang harus aku penuhi,” Jawabnya.
“Engkau harus bersedia dijadikan pimpinan Desa Truyan”.
“Saya bersedia! Katanya.
Karena putra sulung bersedia menerima tanggung jawab sebagai pemimpin desa maka lamarannya di terima.
Pesta perkawinan segera dilaksanakan dengan meriah.
Putra sulung hidup bahagia dengan isrinya. Ia memenuhi janjinya, segala ketrampilan dan pengetahuan bermanfaat, yang didapatkan di tamnah jawa, diajarkan kepada penduduk setempat. Sehingga tanah pertanian baik sawah maupun ladang di daerah itu menjadi subur.
Legenda rakyat Bali : Putri Ayu
Pada zaman dahulu, ratusan tahun yang lalu, Raja Surakarta mempunyai empat orang anak. Keempat anak itu selalu tinggal di dalam Istana. Pada suatu hari ketika mereka sedang bercengkrama di Tamansari, mereka mencium bau harum, bau harum aneh yang sama sekali belum pernah dicium selama hidupnya. Mereka amat tertarik akan bau itu sehingga ingin mencari sumbernya.
Mereka berjalan ke arah timur, menyusuri pantai utara.
Mereka terus berjalan kea arah timur, bahkan sampai menyebrangi pulau Bali. Mula-mula mereka menginjak perbatasan pulau Bali sebelah timur, yaitu antara desa-desa Culik Karangasem dan Buleleng. Disini keempat putra raja itu mencium bau yang lebih harum lagi. Bau harum itu makin bertambah ketika mereka tiba di daerah Batur.
Mereka berjalan terus tanpa menghiraukan rintangan dan halangan alam. Tentu saja mereka keluar masuk hutan belantara yang amat lebat dan susah dilalui. Harus berkelahi dengan binatang buas, seperti harimau dan ular.
Setibamya di kaki selatan Gunung Batur, putri Bungsu memutuskan untuk berdiam di Pura Batur di lereng gunung Batur.
“Aku senang melihat daerah ini” kata Putri Bungsu. “Pemandangan alamnya sungguh mempesona. Aku ingin tetap tinggal disini. Aku tidak mau meneruskan perjalananku Kanda. Izinkan aku!”
“Kalau memang itu kehendakmu, Dinda, silahkan engkau menetap di sini,” Jawab kakaknya yang tertua.
Kemudian putrid itu bergelar sebagai seorang Dewi, Ratu ayu Mas Maketeng namanya.
Ketiga saudara laki-lakinya melanjutkan perjalanan.
Kini mereka menyusuri tepi Danau Batur. Ketika mereka tiba di suatu tempat yang datar di sebelah barat daya danau, mereka mendengar suara kicauan seekor burung. Karena girangnya mendengar suara burung, saudara yang termuda berteriak-teriak.
“Hai burung bagus! Aku akan menangkapmu!”
Burung itu hinggap di dahan pohon yang rendah, namun ketika hendak di tangkap, tiba-tiba burung itu terbang tinggi.
Si adik berteriak-teriak memanggil si burung itu.
Kelakuannya membuat kakaknya yang tertua merasa malu dan geram lalu si kakak menghkumnya.
“Kau jangan ikut mengembara lagi, aku tidak suka melihat tingkah lakumu,” kata kakak yang tertu. “Engkau tidak pantas beserta kami”.
“Tidak…..” Aku harus ikut! Aku ingin terus mengembara, ingin tahu asal bau harum itu,” Jawab Adiknya sambil terus merengek minta ikut.
Kemudian kakaknya menyepak adiknya sehingga terjatuh bersila.
Setelah meninggalkan adikmnya yang berupa patung, kedua putra raja itu meneruskan pengembaraan mereka, menyusuri tepi danau Batur sebelah timur.
Ketika mereka tiba di suatu daerah lain, mereka menemukan dua orang wanita. Seorang diantaranya sedang mencara kutu di kepala yang lainnya.
Putra kedua merasa senang dengan kedua perempuan itu. sebab sudah lama mereka tidak bertemu dengan manusia.
Kerena girang bertemu manusia, putra kedua menyapa kedua wanita itu. perbuatan adiknya ini menimbulkan menimbulkan rasa tidak suka kakaknya.
“Engkau jangan ikut lagi” bentak kakaknya. “Perbuatanmu mengecewakan hatiku. Tidak pantas!”
“Aku ingin ikut terus. Aku tidak mau ditinggal sendiri disini. Tidak!” Rengek adiknya.
Akan tetapi si adik terus merengek, tetap ingin ikut terus. Akhirnya si kakak sangat marah lalu di sepaklah adiknya. Oleh karena sepakan yang keras itu, adiknya terjatuhtertelungkup. Dalam keadaan begitu si kakak meninggalkan adiknya dengan hati yang penuh kemarahan.
Setelah menimnggalkan adik-adiknya di desa-desa itu, putra sulu melanjutkan perjalanan kea rah utara, menyusuri pinggir timur Danau Batur yang amat curam. Akhirnya ia tiba di suatu daratan lagi.
Pada saat itu ia merasa kelelahan karena barusan menuruni tebing yang curam.
Ia ingin beristirahat, berteduh dibawah pohon yang rindang.
Namun niat beristirahat itu diurungkan. Sebab bau harum aneh yang mengusik jiwanya di tanah Jawa kini semakin kuat semerbaknya.
Ia merasa penasaran, lalu cepat berdiri dan melangkah mendekati seebuah pohon besar yang sangat menarimk perhatiannya.
Disana ia menemukan seorang gadis cantik yang sangat mempesona hatinya. Gadis itu sedang bersimpuh seorang diri di bawah pohon Taru Menyan.
Sementara bau harum semakin kuat dan seakan bergulung-gulung di tempat itu. ternyata pohon itulah yang menjadi sumber bau harum yang dicarinya selama ini.
Putri sulung itu terpana melihat gadis cantik yang bagaikan bidadari. Ia mengira gadis itu adalah seorang dewi, ia khawatir jika dewi itu segera terbang ke langit, maka cepat dihampirinya.
Bahkan lalu diperluknya sang dewi erat-erat. Tentu saja si gadis merasa sangat malu diperlakukan demikian, namun karena pada dasarnya ia merasa suka kepada putra sulung maka dia diam saja, dan memaafkan perbuatan pemuda itu.
“Wahai dewi jelita. Siapakah namamu? Tanya putra sulung. “Engkau ini manusia atau Bidadarikah?”
“Tuan, aku ini adalah manusia biasa. Jika tuan memang menyukai aku, lamarlah aku. Aku masih mempunyai kakak sebagai wakil dari orang tuaku.”
Kemudian ia menghadap kakak sang dewi untuk melamar dewi yang cantik itu. “Aku terima lamaranmu. Boleh adikku engkau jadikan isri asal engkau mau memenuhi syarat-syarat,” kata Kakak sang Dewi.
“Katkan padaku, syarat-syarat apasaja yang harus aku penuhi,” Jawabnya.
“Engkau harus bersedia dijadikan pimpinan Desa Truyan”.
“Saya bersedia! Katanya.
Karena putra sulung bersedia menerima tanggung jawab sebagai pemimpin desa maka lamarannya di terima.
Pesta perkawinan segera dilaksanakan dengan meriah.
Putra sulung hidup bahagia dengan isrinya. Ia memenuhi janjinya, segala ketrampilan dan pengetahuan bermanfaat, yang didapatkan di tamnah jawa, diajarkan kepada penduduk setempat. Sehingga tanah pertanian baik sawah maupun ladang di daerah itu menjadi subur.
Legenda Asal Mula Selat Bali
Meskipun Manik Angkeran seorang pemuda yang gagah dan pandai namun dia mempunyai sifat yang kurang baik, yaitu suka berjudi. Dia sering kalah sehingga dia terpaksa mempertaruhkan harta kekayaan orang tuanya, malahan berhutang pada orang lain. Karena tidak dapat membayar hutang, Manik Angkeran meminta bantuan ayahnya untuk berbuat sesuatu. Sidi Mantra berpuasa dan berdoa untuk memohon pertolongan dewa-dewa. Tiba-tiba dia mendengar suara, “Hai, Sidi Mantra, di kawah Gunung Agung ada harta karun yang dijaga seekor naga yang bernarna Naga Besukih. Pergilah ke sana dan mintalah supaya dia mau memberi sedikit hartanya.”
Sidi Mantra pergi ke Gunung Agung dengan mengatasi segala rintangan. Sesampainya di tepi kawah Gunung Agung, dia duduk bersila. Sambil membunyikan genta dia membaca mantra dan memanggil nama Naga Besukih. Tidak lama kernudian sang Naga keluar. Setelah mendengar maksud kedatangan Sidi Mantra, Naga Besukih menggeliat dan dari sisiknya keluar emas dan intan. Setelah mengucapkan terima kasih, Sidi Mantra mohon diri. Semua harta benda yang didapatnya diberikan kepada Manik Angkeran dengan harapan dia tidak akan berjudi lagi. Tentu saja tidak lama kemudian, harta itu habis untuk taruhan. Manik Angkeran sekali lagi minta bantuan ayahnya. Tentu saja Sidi Mantra menolak untuk membantu anakya.
Manik Angkeran mendengar dari temannya bahwa harta itu didapat dari Gunung Agung. Manik Angkeran tahu untuk sampai ke sana dia harus membaca mantra tetapi dia tidak pernah belajar mengenai doa dan mantra. Jadi, dia hanya membawa genta yang dicuri dari ayahnya waktu ayahnya tidur.
Setelah sampai di kawah Gunung Agung, Manik Angkeran membunyikan gentanya. Bukan main takutnya ia waktu ia melihat Naga Besukih. Setelah Naga mendengar maksud kedatangan Manik Angkeran, dia berkata, “Akan kuberikan harta yang kau minta, tetapi kamu harus berjanji untuk mengubah kelakuanmu. Jangan berjudi lagi. Ingatlah akan hukum karma.”
Manik Angkeran terpesona melihat emas, intan, dan permata di hadapannya. Tiba-tiba ada niat jahat yang timbul dalam hatinya. Karena ingin mendapat harta lebih banyak, dengan secepat kilat dipotongnya ekor Naga Besukih ketika Naga beputar kembali ke sarangnya. Manik Angkeran segera melarikan diri dan tidak terkejar oleh Naga. Tetapi karena kesaktian Naga itu, Manik Angkeran terbakar menjadi abu sewaktu jejaknya dijilat sang Naga.
Mendengar kematian anaknya, kesedihan hati Sidi Mantra tidak terkatakan. Segera dia mengunjungi Naga Besukih dan memohon supaya anaknya dihidupkan kembali. Naga menyanggupinya asal ekornya dapat kembali seperti sediakala. Dengan kesaktiannya, Sidi Mantra dapat memulihkan ekor Naga. Setelah Manik Angkeran dihidupkan, dia minta maaf dan berjanji akan menjadi orang baik. Sidi Mantra tahu bahwa anaknya sudah bertobat tetapi dia juga mengerti bahwa mereka tidak lagi dapat hidup bersama.
“Kamu harus mulai hidup baru tetapi tidak di sini,” katanya. Dalam sekejap mata dia lenyap. Di tempat dia berdiri timbul sebuah sumber air yang makin lama makin besar sehingga menjadi laut. Dengan tongkatnya, Sidi Mantra membuat garis yang mernisahkan dia dengan anaknya. Sekarang tempat itu menjadi selat Bali yang memisahkan pulau Jawa dengan pulau Bali.
Sumber: www.seasite.niu.edu
3 PROVINSI BANTEN
DAHULU pernah hidup seorang saudagar kaya raya yang mempunyai hubungan sangat erat dengan kekuasaan Sultan Haji. anak dari Sultan Ageng Tirtayasa. Karena kedekatannya tersebut, sang Saudagar mendapat hak monopoli perdagangan beras dan lada dari Lampung. Tak ayal, usahanya pun maju pesat.
Harnpir semua tanah pertanian di desa-desa yang berdekatan dengan tempat tinggal sang Saudagar menjadi miliknya. la membeli tanah-tanah tersebut dari para petani dengan harga yang rendah. Biasanva setelah petani-petani tersebut tidak mampu lagi mernbayar hutang dengan bunga yang beranak-pinak dan sudah habis jatuh tempo kepada sang Saudagar.
Selain itu, sang Saudagar diangkat menjadi seorang kepala desa di ternpat tinggalnya. Tetapi ia menyalahgunakan kekuasaan yang diberikan dengan memungut pajak yang lebih tinggi dari tarif yang diharuskan. Karena kekayaan dari kekuasaannya itu, ia menjadi orang yang sangat sombong dan seringkali bertindak sewenang-sewenang.
Sang Saudagar juga sangat kikir. Apabila ada orang, lain tertimpa musibah dan membutuhkan pertolongan, ia sama sekali tidak mau memberikan bantuan. Bahkan saking pelitnya, ia tidak mau menikah meskipun umurnya telah berkepala empat. Baginya. menikah dan memiliki anak adalah suatu pemborosan.
la hidup bermewah-mewahan, sedangkan orang-orang di sekitarnya dirundung kemiskinan, sehingga sangat beralasan, jika hampir semua penduduk desa membencinya. Untuk melindungi harta dan nyawanya saja, ia memelihara beberapa orang pengawal pribadi.
Syahdan, suatu hari di desa tempat tinggal sang Saudagar kaya raya itu, lewatlah seorang sakti yang menyamar sebagai seorang pengemis lapar dengan kaki pincang. Sebelumnya, Orang Sakti ini sudah tahu mengenai perangai buruk sang Saudagar, dikarenakan keburukannya sudah jadi obrolan rutin penduduk, di pasar atau di warung-warung kopi. la datang ingin memberi pelajaran dan menyadarkan sang Saudagar yang sombong dan kikir tersebut.
Maka, si Pengemis berkaki pincang yang tidak lain adalah seorang sakti itu mampir menemui sang Saudagar di rumahnya yang besar dan mewah. Si Pengemis mengutarakan maksudnya menemui sang Saudagar untuk meminta sedikit makanan pengganjal perut dan sedikit kekayaan sebagai modal usaha.
Tetapi sang Saudagar memang sangat kikir. Bukannya memberi, ia malah memaki-maki si Pengemis berkaki pincang.
"Hal pengemis hina, apa kau pikir kekayaan yang kumiliki sekarang ini jatuh begitu saja dari langit, heh?! Enak saja kau meminta-minta kepadaku, dasar pemalas!" hardik Sang Saudagar seraya mendorong tubuh si Pengemis berkaki pincang, hingga jatuh tersungkur mencium tanah.
Mendapat perlakuan seperti itu, si Pengemis berkaki pincang pun murka. la memperingatkan bahwa sang Saudagar akan mendapatkan balasan yang setimpal atas perbuatannya.
"Hai Saudagar yang sombong dan kikir, kau pun harus merasakan betapa lapar dan menderitanya aku!" ujar si Pengemis berkaki pincang. Setelah berkata demikian, segera si Pengemis berkaki pincang raib dari pandangan mata. Melihat kejadian tersebut sang Saudagar terkejut bukan main.
Benar saja. Esok hari ketika sang Saudagar bangun dari tidur, ia tidak dapat menggerakkan kedua kakinya. Dengan sekuat tenaga ia berusaha menggerakkan kakinya, tetapi tetap saja tidak bisa. Sang Saudagar pun panik. la bertenak-teriak histeris. Para pengawal pribadinya segera berdatangan mendengar teriakan sang Saudagar tersebut.
Jadilah sang Saudagar menderita kelumpuhan pada kedua kakinya. la memerintahkan kepada pengawal pribadinya mencari tabib-tabib sakti untuk mengobati kakinya yang lumpuh. Ia menjanjikan imbalan yang sangat tinggi bagi slapa saja yang dapat menyembuhkannya.
Namun, meski sudah banyak tabib berusaha mengobati, tak satu pun yang berhasil. Oleh sebab itu ia pun berjanji akan memberikan setengah dari harta kekayaannya bagi siapa saja yang dapat menyembuhkannya dari kelumpuhan.
Si Pengemis berkaki pincang mendengar janji tersebut. Maka ia pun datang menemui sang Saudagar dan menjelaskan apa yang sebenarnya menjadi sebab kelumpuhan kaki sang Saudagar.
"Semua ini adalah ganjalan atas sifatmu yang kikir dan sombong. Agar kakimu sembuh dari kelumpuhan kau harus melaksanakan tiga hal. Pertama, kau harus bisa merubah sifat sombong dan kikirmu itu.
Kedua, kau harus pergi ke kaki Gunung Karang dan carilah sebuah Batu Cekung. Lalu bertapalah kau selama tujuh hari tujuh malam di atas Batu Cekung tersebut, tanpa makan dan minum. Dan ingat, apa pun yang akan terjadi jangan sampai kau membatalkan pertapaan yang kau jalani.
Ketiga, apabila kakimu sudah sembuh seperti biasa, kau harus memenuhi janjimu untuk merelakan setengah dari harta kekayaan tersebut kepada orang-orang miskin di tempat tinggalmu". Setelah berkata demikian, lagi-lagi si Pengemis berkaki pincang tersebut raib begitu saja dari pandangan mata. Sang Saudagar pun sadar bahwa si Pengemis berkaki pincang tersebut bukan orang sembarangan.
Kemudian berangkatlah sang Saudagar dengan menggunakan tandu yang digotong oleh dua orang pengawal pribadinya, menuju ke kaki gunung Gunung Karang. Setelah berhari-hari melakukan perjalanan melewati jalan setapak yang dikelilingi semak belukar dan pepohonan yang lebat, akhirnya sang Saudagar tiba di kaki Gunung Karang dan melihat sebuah Batu Cekung yang dimaksud si Pengemis berkaki pincang.
Karena perjalanan yang sangat melelahkan dan dilakukan tanpa istirahat, kedua orang pengawal pribadi sang Saudagar jatuh pingsan. Padahal Batu Cekung tersebut tinggal beberapa puluh langkah lagi jaraknya.
Terpaksa, dengan bersusah payah sang Saudagar merayap di tanah untuk mencapai Batu Cekung tersebut. Lalu ia pun segera bertapa di atasnya. Selama tujuh hari tujuh malam ia menahan rasa lapar dan haus karena tidak makan dan minum, juga bertahan dari bermacam-macam godaan lainnya, seperti binatang-binatang liar dan makhluk-makhluk halus yang datang mengganggu.
Pada hari terakhir pertapaan, keajaiban pun terjadi. Dari pusat Batu Cekung tersebut menyemburlah sumber mata air panas. Sang Saudagar menyudahi tapanya, lalu bersegera mandi dengan sumber mata air panas dari Batu Cekung tersebut. Keajaiban terjadi lagi, kedua kakinya yang semula lumpuh kini dapat ia gerakkan kembali.
Seperti janjinya semula, maka sang Saudagar membagi-bagikan setengah dari harta kekayaannya kepada orang-orang miskin di sekitar tempat tinggalnya. Para petani di desanya diberikan tanah pertanian sendin untuk digarap. la juga kemudian menikahi seorang gadis cantik anak seorang petani miskin, yang menarik hatinya. Penduduk desa pun tidak lagi membencinya, ia kemudian dikenal sebagai seorang saudagar yang dermawan.
Apabila ada orang bertamu ke rurnahnya, sang Saudagar kerap kali bercerita, perihal keajaiban sumber mata air panas Batu Cekung di kaki Gunung Karang yang dapat menyembuhkan kelumpuhan kakinya. Lambat laun cerita dari mulut ke mulut itu pun tersebar luas. Banyak orang yang tertarik untuk mendatanginya. Konon, beberapa macam penyakit lain dapat sembuh apabila mandi dengan sumber mata air panas Batu Cekung tersebut.
Kini, orang-orang mengenalnya sebagai objek wisata sumber mata air panas "Batu Kuwung" (yang berarti batu cekung). Objek wisata yang belum dikelola secara profesional ini, masuk ke dalam wilayah Kecamatan Padarincang, Ciomas, berlatar belakang kaki Gunung Karang.
"Tapi, Bu..." sergah Dampu Awang.
"Tidak! Sekali tidak, tetap tidak!'' Wajah ibunya mulai memerah. "Ibu tahu, nong. Kamu pergi supaya kita tidak sengsara terus. Tapi ibu sudah cukup dengan keadaan kita seperti ini," lanjut ibunya sambil terus menginang.
"Ibu, Dampu janji. Kalau Dampu pulang nanti, Dampu akan membahagiakan ibu. Dampu akan menuruti segala perintah ibu. Coba ibu bayangkan, nanti kita akan kaya, Bu. Kita akan bangun rumah yang besar seperti rumah para bangsawan." Dampu Awang merayu ibunya.
"Dampu ... Ibu lelah," ujar ibunya. "Ibu sudah bosan mendengar ocehanmu tentang harta kekayaan. Setiap hari kamu selalu saja melamun ingin cepat kaya"
Perkataan itu betul-betul menohok tepat di ulu hati Dampu.
"Kamu tahu nong," Ibu melanjutkan ceramahnya. "Ibu masih kuat sampai sekarang, itu karena kamu. Karena masih ada kamu, Dampu. Nanti kalau kamu pergi, siapa yang menemani ibu? Sudahlah, Dampu... Ibu sudah lelah"
Selepas shalat maghrib Dampu Awang kembali menemani laut dari beranda rumah. Wajahnya masih menyisakan harapan sekaligus kekecewaan yang teramat sangat mendalam. Batinnya terus menerus bergejolak. la masih kesal dengan ucapan ibunya.
Apakah ibu tidak tahu di Malaka sana banyak sekali pekerjaan yang akan membuat aku kaya? ujar Dampu dalam hati. Dan kalau aku kaya, tentu ibu akan turut kaya raya. Seharusnya ibu melihat jauh ke masa depan, kita tidak akan kaya kalau kita selamanya hidup di kampung nelayan miskin ini terus.
Kesempatan ini telah lama aku nantikan. Seorang saudagar asal Samudera Pasai datang berdagang ke Banten. Setelah satu bulan lamanya menetap di Banten, kini saatnya saudagar itu angkat sauh dan kembali berlayar ke negeri asal. Tinggal satu minggu lagi, kapal itu akan berlabuh. Namun, ibu belum juga memberikan izin.
"Dampu..." ucap ibunya lembut, khawatir mengagetkan anaknya.
Dampu melihat ibunya tersenyum. Di matanya ada kehangatan cinta yang mendalam. Batin Dampu kembali terguncang. Hatinya terus bertanya-tanya.
"Ada apa, Ibu?" tanya Dampu.
Ibu hanya tersenyum. Matanya meneravvang mencari bintang di langit cerah kemudian memandang' deburan ombak di lautan yang bersinar karena ditimpa sinar gemerlap rembulan.
Betapa bahagia hati Dampu Awang mendengar ibunva memberi izin. la merasakan dadanya menghangat. seolah diselimuti pusaran energi yang dahsyat. Matanya mulai berembun. Dampu Awang pun membentuk sebuah lengkungan manis di bibirnya.
"Terima kasih, Ibu..."
Deburan ombak, semilir angin laut, bau asin pantai, kepak sayap burung-burung camar, lambaian orang-orang kampung, mengiringi kepergian rombongan saudagar dari pelabuhan. Dampu Awang melihat ibunya meratapi kepergiannya. Sebening embun menggenang di pelupuk mata. Masih terngiang di telinganya petuah-petuah yang diberikan ibunya sesaat sebelum ia pergi.
"Dampu..." ujar ibunya, "Ibu titip si Ketut. Kamu harus merawat si Ketut baik-baik, ya nong. Si Ketut ini dulunya peliharaan bapakmu. Bapakmu dulu sangat menyayangi si Ketut. la sangat mahir sebagai burung pengirim pesan. Kamu harus rutin mengirimi ibu kabar. Jaga baik-baik si Ketut seperti kamu menjaga ibu, ya nong," Ibu melanjutkan petuah-petuahnya. Air matanya sudah tidak mampu dibendung lagi.
"Enggih, Bu." Hanya itu yang mampu Dampu ucapkan saat ibunya memberikan puluhan petuah sebelum Dampu berlayar. Tapi ia berjanji akan mengirimi Surat untuk Ibunya tercinta setiap awal purnama.
Setiap hari, saat bola api langit masih malu-malu menyembulkan jidatnya di permukaan bumi, Dampu Awang bekerja membersilikan seluruh galangan kapal dan merapihkan barang-barang di kapal saudagar Teuku Abu Matsyah.
Hari berganti, bulan bergulir, tahun bertambah. Dampu Awang kini terkenal sebagai pekerja yang rajin. Tak aneh, jika Teuku Abu Matsyah begitu perhatian padanya. Bahkan Siti Nurhasanah, putri Teuku Abu Matsyah, diam-diam menaruh hati padanya. Hingga suatu hari Teuku Abu Matsyah memanggil Dampu Awang untuk berbicara empat mata.
"Dampu..." Ujar Abu Matsyah mengawali pembicaraan.
"Saya, Juragan"
"Kita Sudah saling kenal lebih dari lima tahun. Itu bukanlah waktu yang sebentar untuk saling mengenal," suara Abu Matsyah terdengar berat. -Saya kagum dengan kerajinanmu, Dampu."
"Terima kasih, Juragan"
"Karena itu, saya berniat untuk menjodohkan kamu dengan putriku. Siti Nurhasanah," kata Abu Matsyah seraya menyisir-nyisir janggut putihnya.
Dampu Awang terkejut bukan main. la tak menyangka Teuku Abu Matsyah berbuat sejauh ini. Diam-diam ia memang mencintai Siti Nurhasanah, tapi apa pastas? Lantas bagaimana dengan restu ibunya di Banten'? Apakah ia marnpu membahagiakan Siti? Berpuluh-puluh pertanyaan bersarang di kepala Dampu Awang.
"Bagaimana, Dampu?" Pertanyaan Abu Matsyah membawa Dampu Awang kembali ke alam nyata.
"Maaf, Juragan. Saya bukan rnenolak niat baik juragan." Dampu menanti saat yang tepat. "Tetapi apakah saya pastas?"
"Jadi kamu menolak niat baik saya, Dampu?"
"Maaf. Juragan. saya tidak berani menolak niat baik juragan. Tapi ..."
Sudah satu dasawarsa Dampu Awang meninggalkan tanah kelahirannya. la hanya mengirimkan empat kali surat kepada ibunva di Banten. Hingga suatu hari, tersiarlah kabar akan ada saudagar besar dari Malaka. Kabar itu merembet dengan cepat seperti kecepatan awan yang ditiup angin. Setiap orang ramai membicarakan kekayaan saudagar itu.
"Jangan-jangan Dampu Awang pulang," ujar ibunya sumringah. "Dampu Awang, putraku, akhirnya pulang." Ujar ibunya lagi. Dari suaranya tercermin jelas keharuan dan kegembiraan yang tiada terkira. Yang tidak akan mampu terangkum dalam rangkaian kata atau terlalu besar untuk disimpan di dalam gubuk reotnya.
"Alhamdulillah, hatur nuhun Gusti Allah. Alhamdulillah... Alhamdulillah... Alhamdulillah," berkali-kali wanita itu berucap syukur.
"Woi! Kapalnya sudah datang!" seseorang berseru dari arah pantai
"Hei lihat! Kapalnya besar sekali!" sahut orang yang lain.
Kapalnya luar biasa besar dan megah. Sampai-sampai membentuk bayangan di pantai. Kayunya dari bahan kayu pilihan. Layarnya luas terbentang. Para awak kapal yang gagah tengah sibuk menurunkan barang bawaan.
Penduduk Banten semakin lama semakin banyak yang merubungi pantai. Mereka penasaran siapa yang datang berkunjung. Ibu Dampu Awang adalah salah satu diantara lautan manusia yang semakin membludak saja itu. Tampang Ibu Dampu Awang lusuh bukan main, bahkan pakaiannya lebih kumal dibanding bendera kapal megah itu.
Sementara itu, di dalam kapal Dampu Awang gelisah. la sekarang sudah menjadi pewaris kekayaan tunggal dari Teuku Abu Matsyah. Sejak Dampu menikah dengan Siti Nurhasanah, mertuanya itu mempercayakan seluruh harta kekayaannya kepada Dampu. Selang beberapa lama Teuku Abu Matsyah meninggal dunia. Dan kini, namanya sudah tersohor menjadi pedagang yang kaya raya dari Malaka.
Sengaja ia singgah di kampung halamannya, ingin melihat apakah ibunya masih hidup. Hanya untuk sekadar melihat saja. Ratusan pasang tatap mata mengiringi seorang lelaki tampan nan gagah yang keluar dari ruangan kapal. Bajunya terbuat dari kain emas dan pecinya sangat indah sekali. Di pinggangnya terselip golok sakti yang menjadi idaman setiap pendekar. Di pundaknya bertengger seekor burung perkutut yang terlihat sangat sehat.
Di samping lelaki itu terdapat seorang perempuan cantik yang digapitnya mesra. Dia pasti istrinya. Wajahnya putih bersih dan bercahaya. Sedangkan rambutnya hitam legam seperti langit malam. Suatu kombinasi yang sempurna. Cantik sekali!
"Dampuuuuuu! Dampu Awaaaaaang! Ini Ibu. Di sini. Sebelah sini!" teriak Ibu Dampu Awang sambil melambai-lambaikan tangan. Mendadak wanita tua itu kembali mendapatkan tenaganya kembali. Gairah yang ia rasakan seperti dulu sebelum Dampu Awang, putranya, pergi.
"Dampu Awaaaaaang!" teriak sang ibu sekali lagi.
Semua perhatian terpusat pada Ibu Dampu Awang yang dari tadi berteriak-teriak. Semua heran, apa betul wanita tua dekil ini adalah ibu dari saudagar yang kaya raya itu.
"Kang Mas, apa betul dia ibumu?" tanya istri Dampu Awang. "Mengapa Kang Mas tidak pernah cerita, kalau orang tua Kang Mas masih hidup'?"
"Tidak! Wanita tua itu bukan ibuku!" tampik Dampu Awang dengan cepat. "Dia hanya seorang wanita gila yang sedang meracau!"
Dari atas kapal Dampu Awang menatap kerumunan penduduk yang wajahnya tampak kebingungan.
"Wahai penduduk Banten!" seru Dampu Awang. "Tidak usah bingung. Dia bukan ibuku. Kedua orang tuaku sudah mati. Mereka adalah manusia terhormat yang kaya raya. Bukan seperti wanita tua itu yang berpakaian compang camping dan miskin sengsara!"
Perkataan Dampu Awang tadi bagai petir di siang bolong. Seperti ada godam besar yang menghujam berkali-kali ke sanubari Ibu Dampu Awang. Perasaannya lebih sakit dibanding saat kematian suaminya atau saat melepas putranya berlayar.
"Hei, wanita tua gila!" Dampu Awang menunjuk ibunya. "Aku tidak pernah mempunyai ibu sepertimu. Demi Allah, ibuku adalah seorang yang kaya raya, bukan seorang wanita miskin yang hina sepertimu!"
Luka yang ditorehkan oleh ucapan Dampu Awang itu semakin membesar. Menganga di dalam hati sang ibu. Sang ibu tertunduk lesu. la bersimpuh di atas kedua lutut keriputnya.
"Nakhoda, cepat kita pergi dari sini. Batalkan janji bertemu dengan Sultan. Kita akan lanjutkan perjalanan!" Dampu Awang memerintah. la harus lekas pergi sebelum orang-orang tahu kalau wanita tua yang dekil itu adalah ibu kandungnya. Mau ditaruh di mana mukaku, ujarnya dalam hati.
Sang ibu tertunduk lesu. Air matanya semakin tidak terbendung. Harapan, kebahagian, kegembiraan, suka cita, yang telah dihimpunnya selama puluhan tahun, kini seolah semuanya telah menguap tanpa bekas. Penantiannya selama puluhan tahun harus berakhir dalam kesakithatian yang semakin mendalam.
"Duhai, Gusti. Hampura dosa," Ibu Dampu awang berdoa. "Kalau memang benar dia bukan anakku, biarkan ia pergi. Tapi kalau dia adalah putraku, hukumlah ia karena telah menyakiti perasaan ibunya sendiri." Ibu Dampu Awang khusyuk berdoa. Khidmat.
Tiba-tiba langit gelap. Awan-awan hitam datang tanpa diundang. Berkumpul menjadi satu kesatuan. Hitam dan besar. Hingga sinar matahari pun tidak mampu lagi terlihat. Siang hari yang cerah mendadak seperti malam yang gelap gulita. Petir. Kilat. Guntur. Saling sambar menyambar. Hujan deras.
"Ada badai. Cepat berlindung!" teriak seorang warga.
Langit muntah. Langit muntah. Muntah besar. la menumpahkan segala yang dikandungnya. Dunia serasa kiamat. Dampu Awang beserta kapalnya terombang-ambing di lautan. Dipermainkan oleh alam. Allah telah menjawab rintihan seorang hamba yang didzalimi. Para awak kapal ketakutan, mereka ramai-ramai menerjunkan diri ke laut. Petir menyambar galangan kapal dan layar. Tiang-tiang kapal tumbang.
Tiba-tiba keajaiban terjadi. Si Ketut bisa bicara. "Akuilah....Akuilah... Akuilah ibumu, Dampu Awang."
"Tidak! Dia bukan ibuku! Dia bukan ibuku. Ibuku telah mati!" sergah Dampu Awang.
"Akuilah....Akuilah... Akuilah ibumu, Dampu Awang" si Ketut mengulangi ucapannya.
"Ya Allah, berilah pelajaran yang setimpal sebagaimana yang ia lakukan padaku," Ibu Dampu Awang kembali berdoa.
Angin puyuh besar pun datang. Meliuk-liuk ganas di atas laut. Menyedot dan terus berputar. Kapal Dampu Awang ikut tersedot. Kapal Dampu Awang terbang masuk ke dalam pusaran angin puyuh. Berputar-putar. Terus berputar dalam pusaran angin puyuh.
"lbuuuuuu, tolong aku! Ini anakmu Dampu Awang!" Dampu Awang berteriak ketakutan.
Sang Ibu tetap tidak bergeming.
Kapal yang berisi segala macam harta kekayaan itu dipermainkan oleh angin. Berputar-putar. Dan akhirnya terlempar jauh ke selatan. Jatuh terbalik.
Menurut penuturan masyarakat, kapal Dampu Awang yang karam berubah menjadi Gunung Pinang. Gunung itu terletak tepat di samping jalur lalu lintas Serang - Cilegon, kecamatan Kramat Watu, kabupaten Serang, propinsi Banten. Hingga kini, setiap orang dengan mudah dapat menyaksikan simbol kedurhakaan anak pada ibunya itu.
4 PROVINSI GORONTALO
legenda Danau Limboto
Dahulu, daerah Limboto merupakan hamparan laut yang luas. Di tengahnya terdapat dua buah gunung yang tinggi, yaitu Gunung Boliohuto dan Gunung Tilongkabila. Kedua gunung tersebut merupakan petunjuk arah bagi masyarakat yang akan memasuki Gorontalo melalui jalur laut. Gunung Bilohuto menunjukkan arah barat, sedangkan Gunung Tilongkabila menunjukkan arah timur.
Pada suatu ketika, air laut surut, sehingga kawasan itu berubah menjadi daratan. Tak beberapa lama kemudian, kawasan itu berubah menjadi hamparan hutan yang sangat luas. Di beberapa tempat masih terlihat adanya air laut tergenang, dan di beberapa tempat yang lain muncul sejumlah mata air tawar, yang kemudian membentuk genangan air tawar. Salah satu di antara mata air tersebut mengeluarkan air yang sangat jernih dan sejuk. Mata air yang berada di tengah-tengah hutan dan jarang dijamah oleh manusia tersebut bernama Mata Air Tupalo. Tempat ini sering didatangi oleh tujuh bidadari bersaudara dari Kahyangan untuk mandi dan bermain sembur-semburan air.
Pada suatu hari, ketika ketujuh bidadari tersebut sedang asyik mandi dan bersendau gurau di sekitar mata air Tupalo tersebut, seorang pemuda tampan bernama Jilumoto melintas di tempat itu. Jilumoto dalam bahasa setempat berarti seorang penduduk kahyangan berkunjung ke bumi dengan menjelma menjadi manusia. Melihat ketujuh bidadari tersebut, Jilumoto segera bersembunyi di balik sebuah pohon besar. Dari balik pohon itu, ia memerhatikan ketujuh bidadari yang sedang asyik mandi sampai matanya tidak berkedip sedikitpun.
“Aduhai.... cantiknya bidadari-bidadari itu!” gumam Jilumoto dengan takjub.
Melihat kecantikan para bidadari tersebut, Jilumoto tiba-tiba timbul niatnya untuk mengambil salah satu sayap mereka yang diletakkan di atas batu besar, sehingga si pemilik sayap itu tidak dapat terbang kembali ke kahyangan. Dengan begitu, maka ia dapat memperistrinya. Ketika para bidadari tersebut sedang asyik bersendau gurau, perlahan-lahan ia berjalan menuju ke tempat sayap-sayap tersebut diletakkan. Setelah berhasil mengambil salah satu sayap bidadari tersebut, pemuda tampan itu kembali bersembunyi di balik pohon besar.
Ketika hari menjelang sore, ketujuh bidadari tersebut selesai mandi dan bersiap-siap untuk pulang ke Kahyangan. Setelah memakai kembali sayap masing-masing, mereka pun bersiap-siap terbang ke angkasa. Namun, salah seorang di antara mereka masih tampak kebingungan mencari sayapnya.
“Hai, Adik-adikku! Apakah kalian melihat sayap Kakak?”.
Rupanya, bidadari yang kehilangan sayap itu adalah bidadari tertua yang bernama Mbu`i Bungale. Keenam adiknya segera membantu sang Kakak untuk mencari sayap yang hilang tersebut. Mereka telah mencari ke sana kemari, namun sayap tersebut belum juga ditemukan. Karena hari mulai gelap, keenam bidadari itu pergi meninggalkan sang Kakak seorang diri di dekat Mata Air Tupalo.
“Kakak.. jaga diri Kakak baik-baik!” seru bidadari yang bungsu.
“Adikku...! Jangan tinggalkan Kakak!” teriak Mbu`i Bungale ketika melihat keenam adiknya sedang terbang menuju ke angkasa.
Keenam adiknya tersebut tidak menghiraukan teriakannya. Tinggallah Mbu`i Bungale seorang diri di tengah hutan. Hatinya sangat sedih, karena ia tidak bisa bertemu lagi dengan keluarganya di Kahyangan. Beberapa saat kemudian, Jilumoto keluar dari tempat persembunyiannya dan segera menghampiri Mbu`i Bungale.
“Hai, Bidadari cantik! Kenapa kamu bersedih begitu?” tanya Jilumoto dengan berpura-pura tidak mengetahui keadaan sebenarnya.
“Sayapku hilang, Bang! Adik tidak bisa lagi kembali ke Kahyangan,” jawab Mbu`i Bungale.
Mendengar jawaban itu, tanpa berpikir panjang Jilumoto segera mengajak Mbu`i Bungale untuk menikah. Bidadari yang malang itu pun bersedia menikah dengan Jilumoto. Setelah menikah, mereka memutuskan untuk tinggal bersama di bumi. Mereka pun mencari tanah untuk bercocok tanam. Setelah berapa lama mencari, akhirnya sepasang suami-istri itu menemukan sebuah bukit yang terletak tidak jauh dari Mata Air Tupalo. Di atas bukit itulah mereka mendirikan sebuah rumah sederhana dan berladang dengan menanam berbagai macam jenis tanaman yang dapat dimakan. Mereka menamai bukit itu Huntu lo Ti`opo atau Bukit Kapas..
Pada suatu hari, Mbu`i Bungali mendapat kiriman Bimelula, yaitu sebuah mustika sebesar telur itik dari Kahyangan. Bimelula itu ia simpan di dekat mata air Tupalo dan menutupinya dengan sehelai tolu atau tudung. Beberapa hari kemudian, ada empat pelancong dari daerah timur yang melintas dan melihat mati air Tupalo tersebut. Begitu melihat air yang jernih dan dingin itu, mereka segera meminumnya karena kehausan setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh. Usai minum, salah seorang di antara mereka melihat ada tudung tergeletak di dekat mata air Tupalo.
“Hai, kawan-kawan! Lihatlah benda itu! Bukankah itu tudung?” seru salah seorang dari pelancong itu.
“Benar, kawan! Itu adalah tudung,” kata seorang pelancong lainnya.
“Aneh, kenapa ada tudung di tengah hutan yang sepi ini?” sahut pelancong yang lainnya dengan heran.
Oleh Karena penasaran, mereka segera mendekati tudung itu dan bermaksud untuk menangkatnya. Namun, begitu mereka ingin menyentuh tudung itu, tiba-tiba badai dan angin topan sangat dahsyat datang menerjang, kemudian disusul dengan hujan yang sangat deras. Keempat pelancong itu pun berlarian mencari perlindungan agar terhindar dari marabahaya. Untungnya, badai dan angin topan tersebut tidak berlangsung lama, sehingga mereka dapat selamat.
Setelah badai dan hujan berhenti, keempat pelancong itu kembali ke mata air Tupalo. Mereka melihat tudung itu masih terletak pada tempatnya semula. Oleh karena masih penasaran ingin mengetahui benda yang ditutupi tudung itu, mereka pun bermaksud ingin mengangkat tudung itu. Sebelum mengangkatnya, mereka meludahi bagian atas tudung itu dengan sepah pinang yang sudah dimantrai agar badai dan topan tidak kembali terjadi. Betapa terkejutnya mereka ketika mengangkat tudung itu. Mereka melihat sebuah benda bulat, yang tak lain adalah mustika Bimelula. Mereka pun tertarik dan berkeinginan untuk memiliki mustika itu. Namun begitu mereka akang mengambil mustika Bimelula itu, tiba-tiba Mbu`i Bungale datang bersama suaminya, Jilumoto.
“Maaf, Tuan-Tuan! Tolong jangan sentuh mustika itu! Izinkanlah kami untuk mengambilnya, karena benda itu milik kami!” pinta Mbu`i Bungale.
“Hei, siapa kalian berdua ini? Berani sekali mengaku sebagai pemilik mustika ini!” seru seorang pemimpin pelancong.
“Saya Mbu`i Bungale datang bersama suamiku, Jilumoto, ingin mengambil mustika itu,” jawab Mbu`i Bungale dengan tenang.
“Hai, Mbu`i Bungale! Tempat ini adalah milik kami. Jadi, tak seorang pun yang boleh mengambil barang-barang yang ada di sini, termasuk mustika ini!” bentak pemimpin pelancong itu.
“Apa buktinya bahwa tempat ini dan mustika itu milik kalian?” tanya Mbui`i Bungale.
Pemimpin pelancong itu pun menjawab:
“Kalian mau lihat buktinya? Lihatlah sepah pinang di atas tudung itu! Kamilah yang telah memberinya,” ujar pemimpin pelancong.
Mendengar pengakuan para pelancong tersebut, Mbu`i Bungale hanya tersenyum.
“Hai, aku ingatkan kalian semua! Kawasan mata air ini diturunkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa kepada orang-orang yang suka berbudi baik antarsesama makhluk di dunia ini. Bukan diberikan kepada orang-orang tamak dan rakus seperti kalian. Tapi, jika memang benar kalian pemilik dan penguasa di tempat ini, perluaslah mata air ini! Keluarkanlah seluruh kemampuan kalian, aku siap untuk menantang kalian!” seru Mbu`i Bungale.
Keempat pelancong itu pun bersedia menerima tantangan Mbu`i Bungale. Si pemimpin pelancong segera membaca mantradan mengeluarkan seluruh kemampuannya.
“Wei mata air Kami! Meluas dan membesarlah,” demikian bunyi mantranya.
Berkali-kali pemimpin pelancong itu membaca mantranya, namun tak sedikit pun menunjukkan adanya tanda-tanda mata air itu akan meluas dan membesar. Melihat pemimpin mereka sudah mulai kehabisan tenaga, tiga anak buah pelancong tersebut segera membantu. Meski mereka telah menyatukan kekuatan dan kesaktian, namun mata air Tupalo tidak berubah sedikit pun. Lama-kelamaan keempat pelancong pun tersebut kehabisan tenaga. Melihat mereka kelelahan dan bercucuran keringat, Mbu`i Bungale kembali tersenyum.
“Hai, kenapa kalian berhenti! Tunjukkanlah kepada kami bahwa mata air itu milik kalian! Atau jangan-jangan kalian sudah menyerah!” seru Mbu`i Bungale.
“Diam kau, hai perempuan cerewet! Jangan hanya pandai bicara!” sergah pemimpin pelancong itu balik menantang Mbu`i Bungale. “Jika kamu pemilik mata air ini, buktikan pula kepada kami!”
“Baiklah, Tuan-Tuan! Ketahuilah bahwa Tuhan Maha Tahu mana hambanya yang benar, permintaannya akan dikabulkan!” ujar jawab Mbu`i Bungale dengan penuh keyakinan.
Usai berkata begitu, Mbu`i Bungale segera duduk bersila di samping suaminya seraya bersedekap. Mulutnya pun komat-kamit membaca doa.
“Woyi, air kehidupan, mata air sakti, mata air yang memiliki berkah. Melebar dan meluaslah wahai mata air para bidadari.... membesarlah....!!!” demikian doa Mbu`i Bungale.
Usai berdoa, Mbu`i Bungale segera mengajak suaminya dan memerintahkan keempat pelancong tersebut untuk naik ke atas pohon yang paling tinggi, karena sebentar lagi kawasan itu akan tenggelam. Doa Mbu`i Bungale pun dikabulkan. Beberapa saat kemudian, perut bumi tiba-tiba bergemuruh, tanah bergetar dan menggelegar. Perlahan-lahan mata air Tupalo melebar dan meluas, kemudian menyemburkan air yang sangat deras. Dalam waktu sekejap, tempat itu tergenang air. Keempat pelancong tersebut takjub melihat keajaiban itu dari atas pohon kapuk.
Semakin lama, genangan air itu semakin tinggi hingga hampir mencapai tempat keempat pelancong yang berada di atas pohon kapuk itu. Mereka pun berteriak-teriak ketakutan.
“Ampun Mbu`i Bungale! Kami mengaku salah. Engkaulah pemilik tempat ini dan seisinya!” teriak pemimpin pelancong itu.
Mbu`i Bungale adalah bidadari yang pemaaf. Dengan segera ia memohon kepada Tuhan agar semburan mata air Tupalo dikembalikan seperti semula, sehingga genangan air itu tidak semakin tinggi dan menenggelamkan keempat pelancong tersebut. Tak berapa lama kemudian, semburan air pada mata air
Tupalo kembali seperti semula. Mereka pun turun dari pohon. Mbu`i Bungale segera mengambil tudung dan mustika Bimelula. Ajaibnya, ketika ia meletakkan di atas tangannya, mustika yang menyerupai telur itik itu tiba-tiba menetas dan keluarlah seorang bayi perempuan yang sangat cantik. Wajahnya bercahaya bagaikan cahaya bulan. Mbu`i Bungale pun memberinya nama Tolango Hula, diambil dari kata Tilango lo Hulalo yang berarti cahaya bulan. Menurut cerita, Tolango Hula itulah yang kelak menjadi Raja Limboto.
Setelah itu, Mbu`i Bungale dan suaminya segera membawa gadis kecil itu dan mengajak keempat pelancong tersebut ke rumah mereka. Ketika hendak meninggalkan tempat itu, tiba-tiba Mbu`i Bungale melihat lima buah benda terapung-apung di tengah danau.
“Hai, benda apa itu?” seru Mbu`i Bungale dengan heran sambil menunjuk ke arah benda tersebut.
Karena penasaran, Mbu`i Bungale segera mengambil kelima benda tersebut.
“Bukankah ini buah jeruk?” pikirnya saat mengamati buah tersebut.
Setelah mencubit dan mencium buah tersebut, lalu mengamatinya, maka yakinlah Mbu`i Bungale bahwa buah jeruk itu sama seperti yang ada di Kahyangan. Untuk lebih meyakinkan dirinya, ia bermaksud untuk memeriksa pepohonan yang tumbuh di sekitar danau.
“Kanda, tolong gendong Tolango Hula! Dinda ingin memeriksa pepohonan di sekitar danau ini. Jangan-jangan di antara pepohonan itu ada pohon jeruk yang tumbuh,” ujar Mbu`i Bungale seraya menyerahkan bayinya kepada sang Suami, Jilumoto.
Setelah beberapa saat mencari dan memeriksa, akhirnya Mbu`i Bungale menemukan beberapa pohon jeruk yang sedang berbuah lebat. Untuk memastikan bahwa pohon yang ditemukan itu benar-benar pohon jeruk dari Kahyangan, ia segera memanggil suaminya untuk mengamatinya.
“Kanda, kemarilah sebentar!” seru Mbu`i Bungale.
“Coba perhatikan pohon dan buah jeruk ini! Bukankah buah ini seperti jeruk Kahyangan, Kanda?” ujarnya.
Suaminya pun segera mendekati pohon jeruk itu sambil menggendong bayi mereka. Setelah memegang dan mengamatinya, ia pun yakin bahwa pohon dan buah jeruk itu berasal dari Kahyangan.
“Kamu benar, Dinda! Pohon jeruk ini seperti yang ada di Kahyangan,” kata Jilumoto.
“Dinda heran! Kenapa ada pohon jeruk Kahyangan tumbuh di sekitar danau ini?” ucap Mbu`i Bungale dengan heran.
Beberapa saat kemudian, Mbu`i Bungale baru menyadari bahwa keberadaan pohon jeruk di sekitar danau itu merupakan anugerah dari Tuhan Yang Mahakuasa. Untuk mengenang peristiwa yang baru saja terjadi di daerah itu, Mbu`i Bungale dan suaminya menamakan danau itu Bulalo lo limu o tutu, yang artinya danau dari jeruk yang berasal dari Kahyangan. Lama-kelamaan, masyarakat setempat menyebutnya dengan Bulalo lo Limutu atau lebih dikenal dengan sebutan Danau Limboto.
5 LEGENDA JAMBI
Dahulu di daerah Jambi ada sebuah negeri
yang diperintah oleh seorang Raja yang bernama Sutan Mambang
Matahari. Sutan mempunyai seorang anak laki-laki bernama Tuan
Muda Selat dan seorang anak perempuan bernama Putri
cermin Cina. Tuan Muda Selat adalah seorang pemuda yang
berwajah tampan tapi sifatnya sedikit ceroboh. Sedangkan Putri Cermin
Cina adakah seorang putri yang cantik jelita, baik hati, dan lemah
lembut.serta penyabar.
Menelusuri Legenda
Puteri Cermin Cina dari Batanghari,Pepohonan masih
rimbun di kanan-kiri jalan. Tak terlalu banyak rumah yang menggerombol
ditepi Sungai Batanghari. Setiap ruas jalan masih tampak ranjau-ranjau
kotoran sapi, ternak warga yang dibiarkan lepas. Itulah Desa Senaning.
Sebuah desa yang terletak di antara Desa Kuap dan Desa Lubuk Ruso,
Kecamatan Pemayung, Batanghari.
Desa Kubu Kandang dan Desa Kuap sebelum
memasuki Desa Senaning. Tibalah di rumah seorang mantan kepala Desa
Senaning yang bernama Munzir (56). Setelah terlibat perbincangan ringan,
Jambi Independent menanyakan tentang kisah Putri Cermin Cina yang
tersohor dan menjadi cerita rakyat khas Jambi, selain cerita rakyat
lainnya.
ilustrasi putri cermin cina
Munzir lalu bercerita bahwa memang
kisah itu ada sejak dulu. “Lah zaman bengen (dulu) cerita tu ado, nenek
sayo yang cerito,” tuturnya. Ia menjelaskan bahwa cerita itu diperoleh
dari neneknya yang bernama Rahina yang sangat pintar mendongeng. Nenek
Rahina meninggal sekitar tahun 1976 ketika usianya 125 tahun.
Munzir berkisah bahwa zaman dulu, Bujang
Senaning sedang bermain gasing bersama Bujang Selat. Ketika itu Puteri
Cermin Cina sedang menenun di dalam rumah. Rumah zaman dahulu masih
berbentuk rumah panggung. Saat Bujang Senaning melepaskan tali gasing,
gasing yang memiliki bentuk runcing itu melanting ke atas kening Puteri
Cermin Cina dan seketika itu juga ia meninggal dunia.
Mengetahui kematian kekasihnya itu,
Bujang Senaning kemudian menerkam tombak yang ada di hadapannya. Ia mati
bunuh diri dan Bujang Selat kemudian pergi meninggalkan kedua mayat itu
dengan tujuan tak tentu. Ia pergi bersama warga dengan perahu dan
menambatkan perahu itu di sebuah daratan dan pergi seorang diri, tak
tentu rimbanya. Sejak itu, warga yang jadi pengikut Bujang Selat
menamakan daerah tempat mereka ditinggalkan dengan nama Selat.
“Pulau Selat itu perahunyo si Bujang
Selat, samo seperti Pulau Senaning itu, dulunyo perahunyo si Bujang
Senaning. Daratan yang ado kayu-kayunyo itu,” tambah Munzir, ketika
menunjukkan Pulau Senaning yang tak jauh dari rumahnya.
Sekilas
cerita Munzir dengan cerita para blogger di internet ada yang berbeda
dari segi penamaan tokohnya, namun inti ceritanya sama; dua orang pemuda
yang bermain gasing. Dan gasing itu mengenai Putri Cermin Cina hingga
meninggal. Semisal dibuku maupun di internet memakai nama Bujang
Senaning dan Bujang Selat. Muda Senaning dan Tuan Muda Selat.
Muzir menunjukkan letak makam Bujang
Senaning yang mati bunuh diri ketika melihat Puteri Cermin Cina
meninggal karena gasingnya. Makam itu tak berbentuk lagi, berupa semak
tak terawat. “Itu makamnyo, nampak pohon puding, tando ado makam,” jelas
Munzir.
Yang menarik dari perkataan
Munzir soal asal-usul Desa Senaning ini adalah kisah lain dari kata
Senaning. Ia berkata bahwa dahulu ada serombongan yang berasal dari Tebo
datang, saat akan membuka lahan, salah seorang dari mereka digigit
naning (lebah berwarna kekuningan) dan mati. Dari kata naning itulah
nama senaning muncul dan dipakai hingga saat ini.
Pada suatu sore yang cerah, datang
saudagar muda ke daerah itu, saudagar muda itu bernama Tuan Muda
Senaning. Mula-mula tujuan Tuan Muda Senaning hanya untuk berdagang,
namun saat penjamuan makan Tuan Muda Senaning bertamu dengan Putri
Cermin Cina. seketika itu Tuan Muda Senaning jatuh hati pada Putri
Cermin Cina. Demikian pula, diam-diam Putri Cermin Cina juga menaruh
hati pada Tuan Muda Senaning. Putri Cermin Cina menyarankan untuk Tuan
Muda Senaning datang kepada ayahandanya Sutan Mambang Matahari untuk
melamarnya.
Tidak lama
kemudian tuan Muda Senaning datang mengahadap Sutan Mambang Matahari
untuk melamar Putri Cermin Cina. Sutan Mambang Matahari dengan senang
hati menerima lamaran Tuan Muda Senaning karena memang Tuan Muda
Senaning mempunyai perangai yang baik dan sopan. Tapi Sutan Mambang
Matahari terpaksa menunda pernikahan Tuan Muda Senaning dengan Putri
Cermin Cina selama tiga bulan karena Sutan harus berlayar untuk mencari
bekal pesta pernikahan putrinya. Sebelum berangkat berlayar, Sutan
Mambang Matahari berpesan pada Tuan Muda Selat untuk menjaga adiknya
dengan baik.
Pada suatu
hari, selepas keberangkatan Sutan Mambang Matahari, TuanMuda Senaning
dan Tuan Muda Selat asyik bermain gasing di halaman istana. Mereka
tertawa tergelak-gelak makin lama makin asyik sehingga orang yang
memdengarpun turut tertawa senang. Hal itu mebuat Putri Cermin Cina
penasaran dan ingin melihat keasyikan kakaknya dan calon suaminya, ia
melihat dari jendela. Kehadiran Putri Cermin Cina terlihat oleh dua
orang itu, sambil menoleh kearah jendela, Tuan Muda Senaning melepas
tali gasingnya. Gasing Tuan Muda Senaning mengenai gasing Tuan Muda
Selat. Karena berbenturan keras sama keras, gasing Tuan Muda Selat
melayang dan terpelanting tinggi.
Gasing itu
terpelanting kearah Putri Cermin Cina yang melihat dari jendela. Gasing
itu berputar diatas kening Putri Cermin Cina. Putri Cermin Cina menjerit
kesakitan. Kening Putri Cermin Cina berlumuran darah, ia jatuh ke
lantai tak sadarkan diri. semua orang panik dan berusaha menolong Putri
Cermin Cina. Namun takdir berkata lain, Putri yang cantik jelita itu
akhirnya menghembuskan nafas yang terakhir.
Tuan Muda
Senaning sangat merasa bersalah atas kematian Putri Cermin Cina, dia
menjadi putus asa dan gelap mata. Dia melihat dua tombak bersilang di
dinding, dengan cepat tombak itu di tarik dan di tancapkan ke tanah
dengan posisi mata tombak mencuat ke atas. Kemudian Tuan Muda Senaning
melompat kearah mata tombak dan seketika itu mata tombak menembus
perutnya hingga punggungnya. Tuan Muda Senaning meninggal untuk menyusul
Putri Cermin Cina.
Semua warga
membantu mengurus dua jenazah orang yang saling jatuh cinta itu. Tuan
MudaSelat begitu kalut dan bingung. Ayahandanya pasti marah besar
apabila mengethui keadin itu. kedua jenazah itu akhirnya dikuburkan.
Jenazah putri Cermin Cina dikubur di tepi sungi, Sedangkan jenazah Tuan
Muda Senaning dibawa anak buahnya ke kapal, dan kapal itu berlayar ke
seberang. Jenazah Tuan Muda Senaning dikuburkan di tempat itu diberi
nama dusun Senaning.
Tuan Muda
Selat juga merasa bersalah atas kematian adik tercintanya, dia terus
menyalahkan dirinya karena gasingnya, Putri Cermin Cina meninggal dunia.
Akhirnya Tuan Muda Selat pergi meninggalkan negerinya bersama
orang-orang kampung. Orang-orang yang ikut dengannya ditinggal di suatu
tempat dan tempat itu di sebut Kampung Selat. Namun Tuan Muda Selat
pergi tanpa memiliki tujuan yang jelas.
Tidak lama
kemudian Sutan Mambang Matahari tiba di kampungnya. Sutan bingung karena
kampungnya begitu sepi, dia menuju istanan namun hanya tersisa beberapa
orang yang menjaga istana beberapa orang yang menjaga istana. Setelah
Sutan tahu tentang kejadian sebenarnya, Sutan Mambang Matahari merasa
sedih, kemudian ia beserta pengikutnya pergi meninggalkan kampungnya,
mereka pergi ke dusun seberang dan mendirikan kampung disana. Kampung
itu terletak diantara kubur Tuan Muda Senaning, dan kapal Tuan Muda
Selat. Kampung itu bernama Dusun Tengah Lubuk Ruso.
Legenda
cerita ini oleh rakyat Jambi dianggap benar-benar terjadi karena ada
hubungannya dengan nama-nama kampung di Kabupaten Batanghari, Jambi.
Tema dari
cerita rakyat diatas adalah kehidupan muda-mudi yang saling mencintai
hingga akhir hayat mereka. Tokoh yang terdapat pada cerita rakyat ini
adalah Putri Cermin Cina, Tuan Muda Senaning, Tuan Muda Selat, Sutan
Mambang Matahari, pengikut Tuan muda Senaning, dan orang-orang kampung.
Putri Cermin Cina mempunyai watak baik hati dan lemah lembut, tuan Muda
Senaning Berwatak sopan dan baik, Tuan Muda Selat berwatak agak ceroboh
dan hormat pada ornag tuanya, Sutan Mambang Matahari berwatak bijaksana,
baik hati dan sangat menyayangi kedua anaknya, sedangkan pengikut Tuan
Muda Senaning berwatak setia pada Tuannya dan orang kampung berwatak
setia menemani Tuannya, membantu sabisa mungkin.
Cerita
rakyat yang berjudul Putri Cermin Cina ini menggunakan alur maju karena
disepanjang cerita dari awal hingga akhir berjalan secara urut dan
teratur. Dan juga menggunakan alur tertutup karena akhir cerita telah
diketahui bahwa Putri Cermin Cina meninggal dunia kemudian Tuan Muda
Senaning juga ikut bunuh diri karena tidak bisa hidup tanpa Putri Cermin
Cina, Tuan Muda Selat pergi meninggalkan kampungnya, dan Sutan Mambang
Matahari juga pergi meninggalkan kampungnya karena merasa sedih atas
kematian Putrinya dan atas semua yang telah terjadi.
latar cerita
yang terdapat dalam cerita rakyat ini adalah setting waktu disaat Tuan
Muda Senaning tiba di kampung Putri Cermin Cina, saat jamuan makan, saat
Tuan Muda Senaning melamar Putri Cermin Cina, saat bermain gasing.
Sedangkan setting tempatnya adalah di negeri yang yang di pimpin Sutan
Mambang Matahari, di halaman istana, di kapal pelayaran, di tepi sungai
tempat makam Putri Cermin Cina, Kampung Selat, Dusun Senaning, Dusun
Tengah Lubuk Ruso. Setting suansana yang terdapat dalam cerita rakyat
ini adalah suasana gembira dan bahagia saat lamaran Tuan Muda Senaning
diterima oleh Sutan Mambang Matahari, saat Tuan Muda Senaning dan Tuan
Muda Selat bermain gasing bersama, suasana sedih dan haru saat kematian
Putri Cermin Cina dan Tuan Muda Senaning.
6 LEGENDA DI JAWA BARAT
LEGENDA CIUNG WANARA
CIUNG WANARA
Prabu Barma Wijaya Kusuma adalah seorang raja yang memerintah
kerajaan Galuh yang sangat luas. Ia mempunyai dua orang permaisuri
yang cantik. Permaisuri pertama bernama Pohaci Naganingrum dan yang
kedua bernama Dewi Pangrenyep. Keduanya sedang mengandung anak sang
raja. Sembilan bulan kemudian Dewi Pangrenyep melahirkan seorang putra
dan diberi nama Hariang Banga. Tentu saja peristiwa ini membuat Raja
sangat bersuka cita.
Tiga bulan sejak kelahiran Hariang Banga, permaisuri Pohaci Naganingrum belum juga melahirkan. Dewi Pangrenyep sangat khawatir kalau-kalau Pohaci melahirkan seorang putra yang nanti dapat merebut kasih sayang raja terhadap Hariang Banga, sehingga timbul niat jahatnya untuk mencelakakan putra Pohaci.
Tiga bulan sejak kelahiran Hariang Banga, permaisuri Pohaci Naganingrum belum juga melahirkan. Dewi Pangrenyep sangat khawatir kalau-kalau Pohaci melahirkan seorang putra yang nanti dapat merebut kasih sayang raja terhadap Hariang Banga, sehingga timbul niat jahatnya untuk mencelakakan putra Pohaci.
Saat yang dinanti-nantikanpun tiba,
pada bulan ke-13, Pohaci melahirkan putranya. Atas upaya Dewi
Pangrenyep, tak seorangpun para dayang diperkenankan menolong kelahiran
Pohaci, kecuali Dewi Pangrenyep sendiri. Niat jahatnya segera
dilaksanakan dengan cara mengganti putra Pohaci dengan seekor anjing.
Ia mengatakan seolah-olah Pohaci telah melahirkan seekor anjing.
Kemudian Bayi Pohaci dimasukkannya ke dalam kandaga emas disertai telur
ayam dan dihanyutkannya ke sungai Citandui.
Peristiwa
ini tentu membuat malu dan murka sang raja Karena Pohaci Naganingrum
yang telah melahirkan seekor anjing. Rajapun memerintahkan Si Lengser
(pegawai istana) untuk membunuh Pohaci. Si Lengser yang baik hati tidak
tega membunuh permaisuri raja yang rendah hati tersebut. Lalu ia
berpura-pura melaksanakan titah sang raja dan melaporkan telah
membunuhnya, Pohaci telah diselamatkannya dengan cara menyembunyikannya
ke desa tempat kelahirannya.
Di sebuah desa
Geger Sunten yang terpecil terdapat Adalah seorang Aki bersama istrinya
yang bernama Nini Balangantrang. Desa tersebut terletak jauh dipedalaman
hutan dan sulit ditempuh. Sepasang Aki dan Nini tersebut sudah lama
menikah tetapi belum dikarunia anak.
Suatu malam Nini bermimpi kejatuhan bulan purnama. Mimpi itu diceritakannya kepada suami dan sang suami mengetahui takbir mimpi itu, bahwa mereka akan mendapat rezeki. Malam itu juga Aki pergi ke sungai membawa jala untuk menangkap ikan.Betapa terkejut dan gembira ia mendapatkan kandaga emas yang berisi bayi beserta telur ayam. Mereka asuh bayi itu dengan sabar dan penuh kasih sayang. Telur ayam itu pun mereka tetaskan dan dipelihara hingga menjadi seekor ayam jantan yang ajaib dan perkasa. Anak angkat ini mereka beri nama Ciung Wanara.
Belasan tahun
kemudian Ciung Wanara tumbuh menjadi seorang lelaki dewasa. Ia bertanya
kepada ayah dan ibu angkatnya tentang asal usulnya Aki dan Nini pun
menceritakan tentang asal-usul Ciung Wanara. Setelah mendengar cerita
dari orangtua angkatnya, Ciung Wanara jadi mengerti siapa dirinya.
Suatu
hari Ciung Wanara pamit untuk menyabung ayamnya dengan ayam raja, karena
didengarnya raja gemar menyabung ayam. Taruhannya ialah, bila ayam
Ciung Wanara kalah maka ia rela mengorbankan nyawanya. Tetapi bila ayam
raja kalah, raja harus bersedia mengangkatnya menjadi putra mahkota.
Raja menerima dengan gembira tawaran tersebut.
Sebelum
ayam berlaga, ayam Ciung Wanara berkokok dengan anehnya, melukiskan
peristiwa puluhan tahun yang lampau tentang permaisuri yang dihukum mati
dan kandaga emas yang berisi bayi yang dihanyutkan. Raja tidak
menyadari hal itu, tetapi sebaliknya Si Lengser sangat terkesan akan hal
itu. Bahkan ia menyadari sekarang bahwa Ciung Wanara yang ada di
hadapannya adalah putra raja sendiri.
Setelah
persabungan, ayam baginda kalah dan ayam Ciung Wanara menang. Raja
menepati janji dan Ciung Wanara diangkat menjadi putra mahkota. Dalam
pesta pengangkatan putra mahkota, raja membagi 2 kerajaan untuk Ciung
Wanara dan Hariang Banga. Selesai pesta pengangkatan putra mahkota, Si
Lengser bercerita kepada raja tentang hal yang sesungguhnya mengenai
permaisuri Pohaci Naganingrum dan Ciung Wanara.
Mendengar cerita itii raja memerintahkan pengawal agar Dewi
Pehgrenyep ditangkap. Akibatnya timbul perkelahian antara Hariang Banga
dengan Ciung Wanara. Tubuh Hariang Banga dilemparkan ke seberang sungai
Cipamali yang sedang banjir besar. Sejak itulah kerajaan Galuh dibagi
menjadi 2 bagian dengan batas sungai Cipamali. Di bagian barat
diperintah oleh Hariang Banga. Orang-orangnya menyenangi kecapi dan
menyenangi pantun. Sedangkan bagian timur diperintah oleh Ciung Wanara.
Orang-orangnya menyenangi wayang kulit dan tembang. Kegemaran penduduk
akan kesenian tersebut masih jelas dirasakan sampai sekaran
7 LEGENDA JAWA TENGAH
LEGENDA RAWA PENING
![]() |
| Rawa Pening |
Dahulu kala, warga desa Ngebel terkejut melihat seekor ular yang sangat besar. Karena takut ular itu akan menyerang mereka, warga desa beramai-ramai menangkap ular yang bernama Baru Klinting itu. Setelah tertangkap ular itu dibunuh dan dagingnya disantap dalam sebuah pesta. Hanya satu warga desa yang tidak mereka ajak menikmati pesta itu, yaitu seorang nenek tua miskin bernama Nyai Latung.
Beberapa
hari kemudian muncul seorang anak laki-laki berumur sekitar sepuluh
tahun. Ia tampak kumal dan tidak terawat, bahkan kulitnya pun ditumbuhi
penyakit. Anak itu mendatangi setiap rumah dan meminta makanan kepada
warga desa. Namun tak seorang pun memberinya makanan atau air minum.
Mereka malah mengusirnya dan mencaci makinya.
Akhirnya
ia tiba di rumah yang terakhir, rumah Nyai Latung. Di depan rumah reot
itu Nyai Latung sedang menumbuk padi dengan lesung.
“Nenek,”
kata anak itu, “Saya haus. Boleh minta air, nek?”
Nenek
Latung mengambil segelas air yang diminum anak itu dengan lahap. Nyai
Latung memandangi anak itu dengan iba.
“Mau
air lagi? Kau mau makan? Tapi nenek cuma punya nasi, tidak ada lauk.”
“Mau,
nek. Nasi saja sudah cukup. Saya lapar,” sahut anak itu.
Nenek
segera mengambilkan nasi dan sisa sayur yang ada. Ia juga mengambilkan
air lagi untuk anak itu, Anak itu makan dengan lahap, hingga tidak
sebutir nasipun tersisa.
“Siapa
namamu, nak? Di mana ayah ibumu?”
“Namaku
Baru Klinting. Ayah dan ibu sudah tiada.”
“Kau
tinggal saja di sini menemani nenek,”
“Terima
kasih, nek. Tapi saya pergi saja. Orang-orang di sini jahat, nek. Hanya
nenek saja yang baik hati kepadaku.”
Baru
Klinting kemudian bercerita tentang warga desa yang tidak ramah
kepadanya. Kemudian, ia pun pamit. Sebelum pergi, ia berpesan kepada
Nyai Latung.
“Nek,
nanti jika nenek mendengar suara kentongan, nenek naiklah ke atas
lesung. Nenek akan selamat.”
Meskipun
tidak mengerti maksud Baru Klinting, Nyai Latung mengiyakan saja.
Baru
Klinting masuk ke desa lagi. Ia mendatangi anak-anak yang sedang
bermain. Ia mengambil sebatang lidi lalu menancapkannya di tanah. Lalu
ia memanggil anak-anak.
“Ayo...
siapa yang bisa mencabut lidi ini?”
Anak-anak
mengejek Baru Klinting namun ketika satu per satu mereka mencoba
mencabut lidi, tak ada yang berhasil. Mereka pun memanggil anak-anak
yang lebih besar. Semua mencoba, semua gagal. Orang-orang dewasa pun
berkumpul dan mencoba mencabut lidi. Tetap tidak ada yang berhasil.
Akhirnya
Baru Klinting sendiri yang mencabut sendiri lidi itu. Dari lubang di
tanah bekas menancapnya lidi memancar air yang makin lama makin banyak
dan makin deras. Orang-orang berlarian kalang kabut, Salah seorang
membunyikan kentongan sebagai tanda bahaya. Namun air cepat menjadi
banjir dan menenggelamkan seluruh desa.
Nyai
Latung mendengar bunyi kentongan di kejauhan, Ia teringat pesan Baru
Klinting dan segera naik ke atas lesung. Baru ia duduk di dalam lesung,
air sudah datang dan makin tinggi. Lesung itu terapung-apung. Nyai
Latung melihat para tetangganya sudah mati tenggelam.
Setelah
beberapa lama, air berhenti naik dan perlahan-lahan mulai surut. Lesung
Nyai Latung terbawa menepi sehingga ia dapat naik ke darat. Hanya ia
yang selamat dari banjir. Warga desa yang lain semuanya tewas.
Air
tidak seluruhnya kering kembali namun meninggalkan genangan luas
berbentuk danau yang sekarang disebut Rawa Pening. Rawa Pening terletak
di daerah Ambarawa.
Rawa
Pening luasnya 2670 hektare. Sekarang digunakan untuk pengairan dan
budi daya ikan selain juga menjadi tempat wisata. Enceng gondok yang
memenuhi permukaannya digunakan untuk bahan kerajinan dan keperluan
lain. Sedangkan air sungai Tuntang yang berhulu di danau itu digunakan
untuk pembangkit listrik. Namun sekarang Rawa Pening mengalami
pendangkalan dan dikhawatirkan lambat laun akan lenyap bila tetap
dibiarkan seperti saat ini.
8 LEGENDA DI JAWA TIMUR
Legenda Telaga Pasir (Cerita dari Jawa Timur)

Dahulu kala, hiduplah sepasang suami isteri petani bernama Ki dan Nyai Pasir. Mereka hidup berdua saja karena tidak mempunyai anak. Mereka hidup bahagia walaupun sederhana.
Pada suatu hari, Ki Pasir duduk melepas lelah
setelah mencangkul di sawah. Ia bersandar pada pohon besar di pinggiran
sawah. Tiba-tiba tangannya meraba sesuatu yang bulat dan licin di
sampingnya. Dilihatnya ternyata sebutir telur yang tidak biasa. Telur
itu lebih besar dari telur angsa.
“Telur apa ini?” katanya dalam hati. “Ah, biar
saja, telur ya telur. Kebetulan si Nyai tadi bilang kita kehabisan
lauk.”
Dibawanya telur itu pulang. Ki Pasir bahkan tak
ingat lagi untuk menyelesaikan mencangkul sawahnya. Ia ingin segera
memberikan telur itu kepada isterinya.
Setiba di rumah, dipanggilnya isterinya, “Nyai!
Lihat apa yang kubawa ini.”
Nyai Pasir juga terheran-heran melihat telur yang
aneh itu.
“Dapat dari mana, Ki? Ini telur apa?” tanyanya.
“Sudah,” jawab Ki Pasir, “Jangan bertanya terus,
aku juga tidak tahu itu telur apa.”
“Lebih baik kau masak saja sekarang. Aku sudah
lapar.”
Nyai Pasir memasak telur itu dan menghidangkannya
di meja makan. Ia membagi telur menjadi dua dan mereka pun memakannya
bersama nasi. Telur itu lezat sekali, lebih gurih daripada telur ayam.
Beberapa saat setelah makan, mereka berdua
beristirahat dan tidur. Sekitar tengah malam Nyai Pasir terbangun karena
merasakan tubuhnya panas dan kulitnya gatal. Ia melihat suaminya tidak
ada di sampingnya, maka ia pun mencarinya ingin minta tolong.
Ketika tidak menemukan suaminya di dalam rumah, ia
pun pergi ke halaman rumah. Di sana dilihatnya Ki Pasir sedang
berguling-gulingan di tanah. Rupanya suaminya juga merasakan panas dan
gatal akibat makan telur besar itu.
Nyai Pasir menghampiri suaminya ingin menolong.
Namun apa daya, setiba tiba di samping Ki Pasir ia tak kuat menahan rasa
panas dan gatal di sekujur tubuhnya. Ia pun menjatuhkan diri di tanah
dan berguling-guling seperti Ki Pasir.
Mereka terus berguling-gulingan di tanah hingga
membentuk lubang yang makin lebar dan dalam. Kemudian dari dalam lubang
di tanah itu keluar air sehingga membentuk sebuah danau. Ki Pasir dan
Nyai Pasir tenggelam di dalam danau, namun sebagai gantinya muncul
sepasang naga besar yang menakutkan. Orang-orang sering melihat
pasangan naga itu di sekitar danau yang kemudian disebut telaga Pasir.
Telaga Pasir saat ini lebih dikenal dengan nama
telaga Sarangan, sebuah tempat wisata yang terletak di lereng gunung
Lawu, Magetan Jawa Timur.
Legenda Bukit Kelam

Bukit Kelam merupakan salah satu obyek
wisata alam yang eksotis di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat,
Indonesia. Bukit yang telah menjadi Kawasan Hutan Wisata ini memiliki
panorama alam yang memesona, yaitu berupa pemandangan air terjun, gua
alam yang dihuni oleh ribuan kelelawar, dan sebuah tebing terjal
setinggi kurang lebih 600 meter yang ditumbuhi pepohonan di kaki dan
puncaknya. Dibalik pesona dan eksotisme Bukit Kelam, tersimpan sebuah
cerita yang cukup menarik. Konon, Bukit Kelam dulunya merupakan sebuah
rantau.[1] Namun, karena terjadi suatu peristiwa, maka kemudian rantau
itu menjelma menjadi Bukit Kelam. Bagaimana kisahnya sehingga rantau itu
menjelma menjadi bukit yang indah dan memesona? Kisahnya dapat Anda
ikuti dalam cerita Legenda Bukit Kelam berikut ini.
* * *
Alkisah, di Negeri Sintang, Kalimantan Barat, Indonesia, hiduplah dua orang pemimpin dari keturunan dewa yang memiliki kesaktian tinggi, namun keduanya memiliki sifat yang berbeda. Yang pertama bernama Sebeji atau dikenal dengan Bujang Beji. Ia memiliki sifat suka merusak, pendengki dan serakah. Tidak seorang pun yang boleh memiliki ilmu, apalagi melebihi kesaktiannya. Oleh karena itu, ia kurang disukai oleh masyarakat sekitar, sehingga sedikit pengikutnya. Sementara seorang lainnya bernama Temenggung Marubai. Sifatnya justru kebalikan dari sifat Bujang Beji. Ia memiliki sifat suka menolong, berhati mulia, dan rendah hati. Kedua pemimpin tersebut bermata pencaharian utama menangkap ikan, di samping juga berladang dan berkebun.
Bujang Beji beserta pengikutnya menguasai sungai di Simpang Kapuas, sedangkan Temenggung Marubai menguasai sungai di Simpang Melawi. Ikan di sungai Simpang Melawi beraneka ragam jenis dan jumlahnya lebih banyak dibandingkan sungai di Simpang Kapuas. Tidak heran jika setiap hari Temenggung Marubai selalu mendapat hasil tangkapan yang lebih banyak dibandingkan dengan Bujang Beji.
Temenggung Marubai menangkap ikan di sungai Simpang Melawi dengan menggunakan bubu (perangkap ikan) raksasa dari batang bambu dan menutup sebagian arus sungai dengan batu-batu, sehingga dengan mudah ikan-ikan terperangkap masuk ke dalam bubunya. Ikan-ikan tersebut kemudian dipilihnya, hanya ikan besar saja yang diambil, sedangkan ikan-ikan yang masih kecil dilepaskannya kembali ke dalam sungai sampai ikan tersebut menjadi besar untuk ditangkap kembali. Dengan cara demikian, ikan-ikan di sungai di Simpang Melawi tidak akan pernah habis dan terus berkembang biak.
Mengetahui hal tersebut, Bujang Beji pun menjadi iri hati terhadap Temenggung Marubai. Oleh karena tidak mau kalah, Bujang Beji pun pergi menangkap ikan di sungai di Simpang Kapuas dengan cara menuba[2]. Dengan cara itu, ia pun mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak. Pada awalnya, ikan yang diperoleh Bujang Beji dapat melebihi hasil tangkapan Temenggung Marubai. Namun, ia tidak menyadari bahwa menangkap ikan dengan cara menuba lambat laun akan memusnahkan ikan di sungai Simpang Kapuas, karena tidak hanya ikan besar saja yang tertangkap, tetapi ikan kecil juga ikut mati. Akibatnya, semakin hari hasil tangkapannya pun semakin sedikit, sedangkan Temenggung Marubai tetap memperoleh hasil tangkapan yang melimpah. Hal itu membuat Bujang Beji semakin dengki dan iri hati kepada Temenggung Marubai.
”Wah, gawat jika keadaan ini terus dibiarkan!” gumam Bujang Beji dengan geram.
Sejenak ia merenung untuk mencari cara agar ikan-ikan yang ada di kawasan Sungai Melawi habis. Setelah beberapa lama berpikir, ia pun menemukan sebuah cara yang paling baik, yakni menutup aliran Sungai Melawi dengan batu besar pada hulu Sungai Melawi. Dengan demikian, Sungai Melawi akan terbendung dan ikan-ikan akan menetap di hulu sungai.
Setelah memikirkan masak-masak, Bujang Beji pun memutuskan untuk mengangkat puncak Bukit Batu di Nanga Silat, Kabupaten Kapuas Hulu. Dengan kesaktiannya yang tinggi, ia pun memikul puncak Bukit Batu yang besar itu. Oleh karena jarak antara Bukit Batu dengan hulu Sungai Melawi cukup jauh, ia mengikat puncak bukit itu dengan tujuh lembar daun ilalang.
Di tengah perjalanan menuju hulu Sungai Melawi, tiba-tiba Bujang Beji mendengar suara perempuan sedang menertawakannya. Rupanya, tanpa disadari, dewi-dewi di Kayangan telah mengawasi tingkah lakunya. Saat akan sampai di persimpangan Kapuas-Melawi, ia menoleh ke atas. Namun, belum sempat melihat wajah dewi-dewi yang sedang menertawakannya, tiba-tiba kakinya menginjak duri yang beracun.
”Aduuuhhh... !” jerit Bujang Beji sambil berjingkrat-jingkrat menahan rasa sakit.
Seketika itu pula tujuh lembar daun ilalang yang digunakan untuk mengikat puncak bukit terputus. Akibatnya, puncak bukit batu terjatuh dan tenggelam di sebuah rantau yang disebut Jetak. Dengan geram, Bujang Beji segera menatap wajah dewi-dewi yang masih menertawakannya.
”Awas, kalian! Tunggu saja pembalasanku!” gertak Bujang Beji kepada dewi-dewi tersebut sambil menghentakkan kakinya yang terkena duri beracun ke salah satu bukit di sekitarnya.
”Enyahlah kau duri brengsek!” seru Bujang Beji dengan perasaan marah.
Setelah itu, ia segera mengangkat sebuah bukit yang bentuknya memanjang untuk digunakan mencongkel puncak Bukit Batu yang terbenam di rantau (Jetak) itu. Namun, Bukit Batu itu sudah melekat pada Jetak, sehingga bukit panjang yang digunakan mencongkel itu patah menjadi dua. Akhirnya, Bujang Beji gagal memindahkan puncak Bukit Batu dari Nanga Silat untuk menutup hulu Sungai Melawi. Ia sangat marah dan berniat untuk membalas dendam kepada dewi-dewi yang telah menertawakannya itu.
Bujang Beji kemudian menanam pohon kumpang mambu[3] yang akan digunakan sebagai jalan untuk mencapai Kayangan dan membinasakan para dewi yang telah menggagalkan rencananya itu. Dalam waktu beberapa hari, pohon itu tumbuh dengan subur dan tinggi menjulang ke angkasa. Puncaknya tidak tampak jika dipandang dengan mata kepala dari bawah.
Sebelum memanjat pohon kumpang mambu, Bujang Keji melakukan upacara sesajian adat yang disebut dengan Bedarak Begelak, yaitu memberikan makan kepada seluruh binatang dan roh jahat di sekitarnya agar tidak menghalangi niatnya dan berharap dapat membantunya sampai ke kayangan untuk membinasakan dewi-dewi tersebut.
Namun, dalam upacara tersebut ada beberapa binatang yang terlupakan oleh Bujang Beji, sehingga tidak dapat menikmati sesajiannya. Binatang itu adalah kawanan sampok (Rayap) dan beruang. Mereka sangat marah dan murka, karena merasa diremehkan oleh Bujang Beji. Mereka kemudian bermusyawarah untuk mufakat bagaimana cara menggagalkan niat Bujang Beji agar tidak mencapai kayangan.
”Apa yang harus kita lakukan, Raja Beruang?” tanya Raja Sampok kepada Raja Beruang dalam pertemuan itu.
”Kita robohkan pohon kumpang mambu itu,” jawab Raja Beruang.
”Bagaimana caranya?” tanya Raja Sampok penasaran.
”Kita beramai-ramai menggerogoti akar pohon itu ketika Bujang Beji sedang memanjatnya,” jelas Raja Beruang.
Seluruh peserta rapat, baik dari pihak sampok maupun beruang, setuju dengan pendapat Raja Beruang.
Keesokan harinya, ketika Bujang Beji memanjat pohon itu, mereka pun berdatangan menggerogoti akar pohon itu. Oleh karena jumlah mereka sangat banyak, pohon kumpang mambu yang besar dan tinggi itu pun mulai goyah. Pada saat Bujang Beji akan mencapai kayangan, tiba-tiba terdengar suara keras yang teramat dahsyat.
”Kretak... Kretak... Kretak... !!!”
Beberapa saat kemudian, pohon Kumpang Mambu setinggi langit itu pun roboh bersama dengan Bujang Beji.
”Tolooong... ! Tolooong.... !” terdengar suara Bujang Beji menjerit meminta tolong.
Pohon tinggi itu terhempas di hulu sungai Kapuas Hulu, tepatnya di Danau Luar dan Danau Belidak. Bujang Beji yang ikut terhempas bersama pohon itu mati seketika. Maka gagallah usaha Bujang Beji membinasakan dewi-dewi di kayangan, sedangkan Temenggung Marubai terhindar dari bencana yang telah direncanakan oleh Bujang Beji.
Menurut cerita, tubuh Bujang Beji dibagi-bagi oleh masyarakat di sekitarnya untuk dijadikan jimat kesaktian. Sementara puncak bukit Nanga Silat yang terlepas dari pikulan Bujang Beji menjelma menjadi Bukit Kelam. Patahan bukit yang berbentuk panjang yang digunakan Bujang Beji untuk mencongkelnya menjelma menjadi Bukit Liut. Adapun bukit yang menjadi tempat pelampiasan Bujang Beji saat menginjak duri beracun, diberi nama Bukit Rentap.
* * *
Alkisah, di Negeri Sintang, Kalimantan Barat, Indonesia, hiduplah dua orang pemimpin dari keturunan dewa yang memiliki kesaktian tinggi, namun keduanya memiliki sifat yang berbeda. Yang pertama bernama Sebeji atau dikenal dengan Bujang Beji. Ia memiliki sifat suka merusak, pendengki dan serakah. Tidak seorang pun yang boleh memiliki ilmu, apalagi melebihi kesaktiannya. Oleh karena itu, ia kurang disukai oleh masyarakat sekitar, sehingga sedikit pengikutnya. Sementara seorang lainnya bernama Temenggung Marubai. Sifatnya justru kebalikan dari sifat Bujang Beji. Ia memiliki sifat suka menolong, berhati mulia, dan rendah hati. Kedua pemimpin tersebut bermata pencaharian utama menangkap ikan, di samping juga berladang dan berkebun.
Bujang Beji beserta pengikutnya menguasai sungai di Simpang Kapuas, sedangkan Temenggung Marubai menguasai sungai di Simpang Melawi. Ikan di sungai Simpang Melawi beraneka ragam jenis dan jumlahnya lebih banyak dibandingkan sungai di Simpang Kapuas. Tidak heran jika setiap hari Temenggung Marubai selalu mendapat hasil tangkapan yang lebih banyak dibandingkan dengan Bujang Beji.
Temenggung Marubai menangkap ikan di sungai Simpang Melawi dengan menggunakan bubu (perangkap ikan) raksasa dari batang bambu dan menutup sebagian arus sungai dengan batu-batu, sehingga dengan mudah ikan-ikan terperangkap masuk ke dalam bubunya. Ikan-ikan tersebut kemudian dipilihnya, hanya ikan besar saja yang diambil, sedangkan ikan-ikan yang masih kecil dilepaskannya kembali ke dalam sungai sampai ikan tersebut menjadi besar untuk ditangkap kembali. Dengan cara demikian, ikan-ikan di sungai di Simpang Melawi tidak akan pernah habis dan terus berkembang biak.
Mengetahui hal tersebut, Bujang Beji pun menjadi iri hati terhadap Temenggung Marubai. Oleh karena tidak mau kalah, Bujang Beji pun pergi menangkap ikan di sungai di Simpang Kapuas dengan cara menuba[2]. Dengan cara itu, ia pun mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak. Pada awalnya, ikan yang diperoleh Bujang Beji dapat melebihi hasil tangkapan Temenggung Marubai. Namun, ia tidak menyadari bahwa menangkap ikan dengan cara menuba lambat laun akan memusnahkan ikan di sungai Simpang Kapuas, karena tidak hanya ikan besar saja yang tertangkap, tetapi ikan kecil juga ikut mati. Akibatnya, semakin hari hasil tangkapannya pun semakin sedikit, sedangkan Temenggung Marubai tetap memperoleh hasil tangkapan yang melimpah. Hal itu membuat Bujang Beji semakin dengki dan iri hati kepada Temenggung Marubai.
”Wah, gawat jika keadaan ini terus dibiarkan!” gumam Bujang Beji dengan geram.
Sejenak ia merenung untuk mencari cara agar ikan-ikan yang ada di kawasan Sungai Melawi habis. Setelah beberapa lama berpikir, ia pun menemukan sebuah cara yang paling baik, yakni menutup aliran Sungai Melawi dengan batu besar pada hulu Sungai Melawi. Dengan demikian, Sungai Melawi akan terbendung dan ikan-ikan akan menetap di hulu sungai.
Setelah memikirkan masak-masak, Bujang Beji pun memutuskan untuk mengangkat puncak Bukit Batu di Nanga Silat, Kabupaten Kapuas Hulu. Dengan kesaktiannya yang tinggi, ia pun memikul puncak Bukit Batu yang besar itu. Oleh karena jarak antara Bukit Batu dengan hulu Sungai Melawi cukup jauh, ia mengikat puncak bukit itu dengan tujuh lembar daun ilalang.
Di tengah perjalanan menuju hulu Sungai Melawi, tiba-tiba Bujang Beji mendengar suara perempuan sedang menertawakannya. Rupanya, tanpa disadari, dewi-dewi di Kayangan telah mengawasi tingkah lakunya. Saat akan sampai di persimpangan Kapuas-Melawi, ia menoleh ke atas. Namun, belum sempat melihat wajah dewi-dewi yang sedang menertawakannya, tiba-tiba kakinya menginjak duri yang beracun.
”Aduuuhhh... !” jerit Bujang Beji sambil berjingkrat-jingkrat menahan rasa sakit.
Seketika itu pula tujuh lembar daun ilalang yang digunakan untuk mengikat puncak bukit terputus. Akibatnya, puncak bukit batu terjatuh dan tenggelam di sebuah rantau yang disebut Jetak. Dengan geram, Bujang Beji segera menatap wajah dewi-dewi yang masih menertawakannya.
”Awas, kalian! Tunggu saja pembalasanku!” gertak Bujang Beji kepada dewi-dewi tersebut sambil menghentakkan kakinya yang terkena duri beracun ke salah satu bukit di sekitarnya.
”Enyahlah kau duri brengsek!” seru Bujang Beji dengan perasaan marah.
Setelah itu, ia segera mengangkat sebuah bukit yang bentuknya memanjang untuk digunakan mencongkel puncak Bukit Batu yang terbenam di rantau (Jetak) itu. Namun, Bukit Batu itu sudah melekat pada Jetak, sehingga bukit panjang yang digunakan mencongkel itu patah menjadi dua. Akhirnya, Bujang Beji gagal memindahkan puncak Bukit Batu dari Nanga Silat untuk menutup hulu Sungai Melawi. Ia sangat marah dan berniat untuk membalas dendam kepada dewi-dewi yang telah menertawakannya itu.
Bujang Beji kemudian menanam pohon kumpang mambu[3] yang akan digunakan sebagai jalan untuk mencapai Kayangan dan membinasakan para dewi yang telah menggagalkan rencananya itu. Dalam waktu beberapa hari, pohon itu tumbuh dengan subur dan tinggi menjulang ke angkasa. Puncaknya tidak tampak jika dipandang dengan mata kepala dari bawah.
Sebelum memanjat pohon kumpang mambu, Bujang Keji melakukan upacara sesajian adat yang disebut dengan Bedarak Begelak, yaitu memberikan makan kepada seluruh binatang dan roh jahat di sekitarnya agar tidak menghalangi niatnya dan berharap dapat membantunya sampai ke kayangan untuk membinasakan dewi-dewi tersebut.
Namun, dalam upacara tersebut ada beberapa binatang yang terlupakan oleh Bujang Beji, sehingga tidak dapat menikmati sesajiannya. Binatang itu adalah kawanan sampok (Rayap) dan beruang. Mereka sangat marah dan murka, karena merasa diremehkan oleh Bujang Beji. Mereka kemudian bermusyawarah untuk mufakat bagaimana cara menggagalkan niat Bujang Beji agar tidak mencapai kayangan.
”Apa yang harus kita lakukan, Raja Beruang?” tanya Raja Sampok kepada Raja Beruang dalam pertemuan itu.
”Kita robohkan pohon kumpang mambu itu,” jawab Raja Beruang.
”Bagaimana caranya?” tanya Raja Sampok penasaran.
”Kita beramai-ramai menggerogoti akar pohon itu ketika Bujang Beji sedang memanjatnya,” jelas Raja Beruang.
Seluruh peserta rapat, baik dari pihak sampok maupun beruang, setuju dengan pendapat Raja Beruang.
Keesokan harinya, ketika Bujang Beji memanjat pohon itu, mereka pun berdatangan menggerogoti akar pohon itu. Oleh karena jumlah mereka sangat banyak, pohon kumpang mambu yang besar dan tinggi itu pun mulai goyah. Pada saat Bujang Beji akan mencapai kayangan, tiba-tiba terdengar suara keras yang teramat dahsyat.
”Kretak... Kretak... Kretak... !!!”
Beberapa saat kemudian, pohon Kumpang Mambu setinggi langit itu pun roboh bersama dengan Bujang Beji.
”Tolooong... ! Tolooong.... !” terdengar suara Bujang Beji menjerit meminta tolong.
Pohon tinggi itu terhempas di hulu sungai Kapuas Hulu, tepatnya di Danau Luar dan Danau Belidak. Bujang Beji yang ikut terhempas bersama pohon itu mati seketika. Maka gagallah usaha Bujang Beji membinasakan dewi-dewi di kayangan, sedangkan Temenggung Marubai terhindar dari bencana yang telah direncanakan oleh Bujang Beji.
Menurut cerita, tubuh Bujang Beji dibagi-bagi oleh masyarakat di sekitarnya untuk dijadikan jimat kesaktian. Sementara puncak bukit Nanga Silat yang terlepas dari pikulan Bujang Beji menjelma menjadi Bukit Kelam. Patahan bukit yang berbentuk panjang yang digunakan Bujang Beji untuk mencongkelnya menjelma menjadi Bukit Liut. Adapun bukit yang menjadi tempat pelampiasan Bujang Beji saat menginjak duri beracun, diberi nama Bukit Rentap.
10 LEGENDA DI KALIMANTAN SELATAN
LEGENDA TELAGA BIDADARI
Di permukaan tanah itu menjalar dengan
suburnya sejenis tumbuhan, gadung namanya. Gadung mempunyai umbi yang
besar dan dapat dibuat menjadi kerupuk yang gurih dan enak rasanya. Akan
tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa menjadi racun bagi orang yang
memakannya karena memabukkan.
Daerah itu
dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri
dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu.
Oleh karena itu, ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir
meniup suling. Lagu-lagunya menyentuh perasaan siapa saja yang
mendengarkannya.
Awang Sukma sering memanen
burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-burung datangan
mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak dengan
melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi
getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga.
Ketika burung hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin
burung itu meronta, semakin erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu
menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-bilah pulut. Kemudian, Awang
Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam keranjang. Biasanya, puluhan
ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah sebabnya di kalangan
penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.
Akan tetapi, pada suatu hari
suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan tidak ada seekor
pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang merekah.
“Heran,” ujar Awang Sukma,
“sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-burung tidak mau
lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil berbaring di
rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui
tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga
pulutnya mengena. Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin
menghibur diri. Karena dengan lantunan irama suling, kerinduannya kepada
mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon, Awang Sukma adalah
seorang pendatang dari negeri jauh.
Awang Sukma terpana oleh irama
sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai rambutnya membuat ia
terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan suling itu
tergeletak di sisinya. Ia tertidur.
Entah berapa lama ia terbuai
mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara hiruk pikuk
sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya. Matanya
diusap-usap.
Ternyata, ada tujuh putri muda
cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju telaga. Tidak lama
kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-semburan
air.
“Aku ingin melihat mereka dari
dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat untuk mengintip yang
tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.
Legenda Telaga BidadariDari
tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh
putri itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan
dengan tajamnya menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada
pakaian mereka yang bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus
sebagai alat untuk menerbangkan mereka saat turun ke telaga maupun
kembali ke kediaman mereka di kayangan. Tentulah mereka bidadari yang
turun ke mayapada.
Puas bersembur-semburan di air
telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi telaga. Konon,
permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga
tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah
seorang putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah
bumbung (tabung dari buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu
disembunyikannya dalam kindai (lumbung tempat menyimpan padi).
Ketika ketujuh putri ingin
mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di antara mereka
tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat mereka
panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan
paling cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke
kayangan.
Kebingungan, ketakutan, dan rasa
kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu, Awang Sukma keluar
dari tempat persembunyiannya.
“Tuan Putri jangan takut dan
sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara bersama hamba.”
Tidak ada alasan bagi putri
bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama Awang Sukma.
Awang Sukma merasa bahwa putri
bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya. Putri bungsu pun bersedia
menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat serasi, antara
ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam
ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang
diberi nama Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.
Rupanya memang sudah adat dunia,
tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini. Apa yang disembunyikan
Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali.
Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya duduk di samping buaian
putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam hitam naik
ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung
sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.
Putri bungsu memburunya. Tidak
sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas kaisan ayam hitam tadi.
Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya. Betapa
kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu.
“Ternyata, suamiku yang
menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang bersama
kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.
Perasaan putri bungsu berkecamuk
sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas, kesal, tertipu, marah,
dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada suaminya.
“Aku harus kembali,” katanya
dalam hati.
Kemudian, putri bungsu
mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya yang belum
setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya sambil
menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang
Sukma terjaga.
Awang Sukma terpana ketika
menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung tempat menyembunyikan
pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat perpisahan
tidak mungkin ditunda lagi.
“Adinda harus kembali,” kata
istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika ia merindukan
ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul.
Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu
denganngan suling Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”
Putri bungsu pun terbang dan
menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri tercintanya. Pesan
istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada istrinya
terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia
kala. Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya.
Konon, Awang Sukma bersumpah dan melarang
keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap membawa petaka
bagi dirinya.
Telaga yang dimaksud dalam
legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari, terletak di desa
Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya,
delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai
Selatan Propinsi Kalimantan Selatan.
11 LEGENDA DI KALIMANTAN TIMUR
LEGENDA BATU MENANGIS
Kekayaan Mah Bongsu membuat orang bertanya-tanya. Pasti Mah Bongsu memelihara tuyul, kata Mak Piah. Pak Buntal pun menggarisbawahi pernyataan istrinya itu. Bukan memelihara tuyul! Tetapi ia telah mencuri hartaku! Banyak orang menjadi penasaran dan berusaha menyelidiki asal usul harta Mah Bongsu. Untuk menyelidiki asal usul harta Mah Bongsu ternyata tidak mudah. Beberapa dari orang dusun yang penasaran telah menyelidiki berhari-hari namun tidak dapat menemukan rahasianya.
Yang penting sekarang ini, kita tidak dirugikan, kata Mak Ungkai kepada tetangganya. Bahkan Mak Ungkai dan para tetangganya mengucapkan terima kasih kepada Mah Bongsu, sebab Mah Bongsu selalu memberi bantuan mencukupi kehidupan mereka sehari-hari. Selain mereka, Mah Bongsu juga membantu para anak yatim piatu, orang yang sakit dan orang lain yang memang membutuhkan bantuan. Mah Bongsu seorang yang dermawati, sebut mereka.
Mak Piah dan Siti Mayang, anak gadisnya merasa tersaingi. Hampir setiap malam mereka mengintip ke rumah Mah Bongsu. Wah, ada ular sebesar betis? gumam Mak Piah. Dari kulitnya yang terkelupas dan dibakar bisa mendatangkan harta karun? gumamnya lagi. Hmm, kalau begitu aku juga akan mencari ular sebesar itu, ujar Mak Piah.
Mak Piah pun berjalan ke hutan mencari seekor ular. Tak lama, ia pun mendapatkan seekor ular berbisa. Dari ular berbisa ini pasti akan mendatangkan harta karun lebih banyak daripada yang didapat oleh Mah Bongsu, pikir Mak Piah. Ular itu lalu di bawa pulang. Malam harinya ular berbisa itu ditidurkan bersama Siti Mayang. Saya takut! Ular melilit dan menggigitku! teriak Siti Mayang ketakutan. Anakku, jangan takut.
Bertahanlah, ular itu akan mendatangkan harta karun, ucap Mak Piah.
Sementara itu, luka ular milik Mah Bongsu sudah sembuh. Mah Bongsu semakin menyayangi ularnya. Saat Mah Bongsu menghidangkan makanan dan minuman untuk ularnya, ia tiba-tiba terkejut. Jangan terkejut. Malam ini antarkan aku ke sungai, tempat pertemuan kita dulu, kata ular yang ternyata pandai berbicara seperti manusia. Mah Bongsu mengantar ular itu ke sungai. Sesampainya di sungai, ular mengutarakan isi hatinya. Mah Bongsu, Aku ingin membalas budi yang setimpal dengan yang telah kau berikan padaku, ungkap ular itu. Aku ingin melamarmu untuk menjadi istriku, lanjutnya. Mah Bongsu semakin terkejut, ia tidak bisa menjawab sepatah katapun. Bahkan ia menjadi bingung.
Ular segera menanggalkan kulitnya dan seketika itu juga berubah wujud menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa. Kulit ular sakti itu pun berubah wujud menjadi sebuah gedung yang megah yang terletak di halaman depan pondok Mah bongsu. Selanjutnya tempat itu diberi nama desa Tiban asal dari kata ketiban, yang artinya kejatuhan keberuntungan atau mendapat kebahagiaan.
Akhirnya, Mah Bongsu melangsungkan pernikahan dengan pemuda tampan tersebut. Pesta pun dilangsungkan tiga hari tiga malam. Berbagai macam hiburan ditampilkan. Tamu yang datang tiada henti-hentinya memberikan ucapan selamat.
Dibalik kebahagian Mah Bongsu, keadaan keluarga Mak Piah yang tamak dan loba sedang dirundung duka, karena Siti Mayang, anak gadisnya meninggal dipatuk ular berbisa.
Konon, sungai pertemuan Mah Bongsu dengan ular sakti yang berubah wujud menjadi pemuda tampan itu dipercaya sebagai tempat jodoh. Sehingga sungai itu disebut Sungai Jodoh.
Disebuah bukit yang jauh dari desa,
didaerah Kalimantan hiduplah seorang janda miskin dan seorang anak
gadisnya.
Anak gadis janda itu sangat cantik jelita. Namun sayang, ia mempunyai prilaku yang amat buruk. Gadis itu amat pemalas, tak pernah membantu ibunya melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah. Kerjanya hanya bersolek setiap hari.
Selain pemalas, anak gadis itu sikapnya manja sekali. Segala permintaannya harus dituruti. Setiap kali ia meminta sesuatu kepada ibunya harus dikabulkan, tanpa memperdulikan keadaan ibunya yang miskin, setiap hari harus membanting tulang mencari sesuap nasi.
Anak gadis janda itu sangat cantik jelita. Namun sayang, ia mempunyai prilaku yang amat buruk. Gadis itu amat pemalas, tak pernah membantu ibunya melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah. Kerjanya hanya bersolek setiap hari.
Selain pemalas, anak gadis itu sikapnya manja sekali. Segala permintaannya harus dituruti. Setiap kali ia meminta sesuatu kepada ibunya harus dikabulkan, tanpa memperdulikan keadaan ibunya yang miskin, setiap hari harus membanting tulang mencari sesuap nasi.
Pada suatu hari anak gadis itu diajak
ibunya turun ke desa untuk berbelanja. Letak pasar desa itu amat jauh,
sehingga mereka harus berjalan kaki yang cukup melelahkan. Anak gadis
itu berjalan melenggang dengan memakai pakaian yang bagus dan bersolek
agar orang dijalan yang melihatnya nanti akan mengagumi kecantikannya.
Sementara ibunya berjalan dibelakang sambil membawa keranjang dengan
pakaian sangat dekil. Karena mereka hidup ditempat terpencil, tak
seorangpun mengetahui bahwa kedua perempuan yang berjalan itu adalah ibu
dan anak.
Ketika mereka mulai memasuki desa, orang-orang desa memandangi mereka. Mereka begitu terpesona melihat kecantikan anak gadis itu, terutama para pemuda desa yang tak puas-puasnya memandang wajah gadis itu. Namun ketika melihat orang yang berjalan dibelakang gadis itu, sungguh kontras keadaannya. Hal itu membuat orang bertanya-tanya.
Di antara orang yang melihatnya itu, seorang pemuda mendekati dan bertanya kepada gadis itu, “Hai, gadis cantik. Apakah yang berjalan dibelakang itu ibumu?”
Namun, apa jawaban anak gadis itu ?
“Bukan,” katanya dengan angkuh. “Ia adalah pembantuku !”
Kedua ibu dan anak itu kemudian meneruskan perjalanan. Tak seberapa jauh, mendekati lagi seorang pemuda dan bertanya kepada anak gadis itu.
“Hai, manis. Apakah yang berjalan dibelakangmu itu ibumu?”
“Bukan, bukan,” jawab gadis itu dengan mendongakkan kepalanya. ” Ia adalah budakk!”
Begitulah setiap gadis itu bertemu dengan seseorang disepanjang jalan yang menanyakan perihal ibunya, selalu jawabannya itu. Ibunya diperlakukan sebagai pembantu atau budaknya.
Pada mulanya mendengar jawaban putrinya yang durhaka jika ditanya orang, si ibu masih dapat menahan diri. Namun setelah berulang kali didengarnya jawabannya sama dan yang amat menyakitkan hati, akhirnya si ibu yang malang itu tak dapat menahan diri. Si ibu berdoa.
“Ya Tuhan, hamba tak kuat menahan hinaan ini. Anak kandung hamba begitu teganya memperlakukan diri hamba sedemikian rupa. Ya, tuhan hukumlah anak durhaka ini ! Hukumlah dia….”
Atas kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, perlahan-lahan tubuh gadis durhaka itu berubah menjadi batu. Perubahan itu dimulai dari kaki. Ketika perubahan itu telah mencapai setengah badan, anak gadis itu menangis memohon ampun kepada ibunya.
” Oh, Ibu..ibu..ampunilah saya, ampunilah kedurhakaan anakmu selama ini. Ibu…Ibu…ampunilah anakmu..” Anak gadis itu terus meratap dan menangis memohon kepada ibunya. Akan tetapi, semuanya telah terlambat. Seluruh tubuh gadis itu akhirnya berubah menjadi batu. Sekalipun menjadi batu, namun orang dapat melihat bahwa kedua matanya masih menitikkan air mata, seperti sedang menangis. Oleh karena itu, batu yang berasal dari gadis yang mendapat kutukan ibunya itu disebut ” Batu Menangis “.
Ketika mereka mulai memasuki desa, orang-orang desa memandangi mereka. Mereka begitu terpesona melihat kecantikan anak gadis itu, terutama para pemuda desa yang tak puas-puasnya memandang wajah gadis itu. Namun ketika melihat orang yang berjalan dibelakang gadis itu, sungguh kontras keadaannya. Hal itu membuat orang bertanya-tanya.
Di antara orang yang melihatnya itu, seorang pemuda mendekati dan bertanya kepada gadis itu, “Hai, gadis cantik. Apakah yang berjalan dibelakang itu ibumu?”
Namun, apa jawaban anak gadis itu ?
“Bukan,” katanya dengan angkuh. “Ia adalah pembantuku !”
Kedua ibu dan anak itu kemudian meneruskan perjalanan. Tak seberapa jauh, mendekati lagi seorang pemuda dan bertanya kepada anak gadis itu.
“Hai, manis. Apakah yang berjalan dibelakangmu itu ibumu?”
“Bukan, bukan,” jawab gadis itu dengan mendongakkan kepalanya. ” Ia adalah budakk!”
Begitulah setiap gadis itu bertemu dengan seseorang disepanjang jalan yang menanyakan perihal ibunya, selalu jawabannya itu. Ibunya diperlakukan sebagai pembantu atau budaknya.
Pada mulanya mendengar jawaban putrinya yang durhaka jika ditanya orang, si ibu masih dapat menahan diri. Namun setelah berulang kali didengarnya jawabannya sama dan yang amat menyakitkan hati, akhirnya si ibu yang malang itu tak dapat menahan diri. Si ibu berdoa.
“Ya Tuhan, hamba tak kuat menahan hinaan ini. Anak kandung hamba begitu teganya memperlakukan diri hamba sedemikian rupa. Ya, tuhan hukumlah anak durhaka ini ! Hukumlah dia….”
Atas kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, perlahan-lahan tubuh gadis durhaka itu berubah menjadi batu. Perubahan itu dimulai dari kaki. Ketika perubahan itu telah mencapai setengah badan, anak gadis itu menangis memohon ampun kepada ibunya.
” Oh, Ibu..ibu..ampunilah saya, ampunilah kedurhakaan anakmu selama ini. Ibu…Ibu…ampunilah anakmu..” Anak gadis itu terus meratap dan menangis memohon kepada ibunya. Akan tetapi, semuanya telah terlambat. Seluruh tubuh gadis itu akhirnya berubah menjadi batu. Sekalipun menjadi batu, namun orang dapat melihat bahwa kedua matanya masih menitikkan air mata, seperti sedang menangis. Oleh karena itu, batu yang berasal dari gadis yang mendapat kutukan ibunya itu disebut ” Batu Menangis “.
Demikianlah cerita berbentuk legenda
ini, yang oleh masyarakat setempat dipercaya bahwa kisah itu benar-benar
pernah terjadi. Barang siapa yang mendurhakai ibu kandung yang telah
melahirkan dan membesarkannya, pasti perbuatan laknatnya itu akan
mendapat hukuman dari Tuhan Yang Maha Kuasa
Versi lain
Kelahiran Putri dan Wulan yang berbeda
setengah jam telah memiliki pertanda dari alam. Putri lahir ditengah
cuaca yang mendadak berubah begitu buruk, sementara adiknya muncul saat
cuaca membaik.
Setelah keduanya mulai tumbuh, barulah
kelihatan perbedaan yang mencolok. Wulan berakhlak lembut, penyabar, dan
pengasih sementara si sulung Putri berwatak buruk nan mencemaskan.
Kuatir dengan keadaan tersebut, Awang
dan Sari memasukkan Putri ke sebuah pesantren dengan harapan anaknya
bisa berubah. Sayang, perilaku Putri justru malah semakin menjadi tanpa
bisa dikendalikan pemilik dan pengasuh pesantren.
Puncaknya terjadi saat Awang mengunjungi
putri suluangnya, keteledoran Putri membuat gudang dimana ia biasa
bermalas-malasan terbakar. Putri sendiri selamat, namun sang ayah yang
berjibaku menyelamatkan buah hatinya harus mengalami cacat fisik
permanen.
Takut bakal dihukum akibat perbuatannya,
Putri melarikan diri dari pesantren dan jatuh ke perangkat Julig,
seorang dukun yang ingin mencari tumbal kepala seorang bocah.
Rupanya, tumbal tersebut bakal digunakan
untuk pembangunan sebuah resort di pinggir pantai yang dikelola Darwin
seorang konglomerat. Beruntung, muncul pasangan jin penghuni hutan tepi
pantai Ranggada dan Sugari yang menyelamatkan Putri sekaligus membunuh
Julig dan Darwin.
Saat Awang dan Sari dibuat bingung
mencari keberadaannya hingga menghabiskan banyak biaya, Putri malah
hidup bersenang-senang di istana jin Ranggada dan Sugari dengan
pekerjaan sebagai pendamping anak tunggal mereka Elok.
Sayangnya biarpun sudah dimanjakan oleh
kedua orangtua angkatnya, kelakuan buruk Putri yang telah
mendarah-daging tidak bisa hilang. Akhirnya suami-istri jin Ranggada dan
Sugari sudah tidak tahan lagi, mereka mengusir Putri keluar dari istana
jin.
Setelah sempat terlunta-lunta dan nyaris
diperkosa pemuda berandal, Putri dipertemukan juga dengan Awang dan
Sari serta adiknya Wulan. Pertemuan tersebut berlangsung mengharukan
karena mereka telah berpisah selama lebih dari 10 tahun.
Lagi-lagi suasana tentram hanya
berlangsung sesaat, Putri kembali berfoya-foya karena sudah terbiasa
bergelimang kemewahan tanpa perduli dengan orangtuanya yang sudah
terancam bangkrut.
Sikapnya terhadap keluarga juga sangat
buruk. Selain memperlakukan Wulan dan sang ibu seperti pembantu, Putri
juga melecehkan sang ayah yang cacat. Bahkan, Awang yang berusaha
membela Wulan malah dicelakai Putri, yang tidak menunjukkan penyesalan
sedikit pun, hingga menemui ajalnya.
Di tengah kekacauan hidup dan ekonomi
keluarga yang semakin morat-marit, apa yang harusnya terjadi tidak bisa
dihindari lagi. Sang ibu akhirnya kehilangan kesabaran melihat kelakuan
Putri. Yang lebih fatal, kemarahan kali ini jauh lebih parah daripada
suami-istri jin Ranggada dan Sugari.
Tanpa sadar sang ibu mengucapkan sumpah
atau kutuk. Akibatnya, Putri langsung menjadi sebuah patung batu yang
terus mengucurkan air bening dari sepasang mata batunya. Konon, air itu
adalah air mata dari penyesalan Putri yang sayangnya datang terlambat
12 LEGENDA DI PULAU BATAM
Legenda sungai jodoh
Pada suatu masa di pedalaman pulau
Batam, ada sebuah desa yang didiami seorang gadis yatim piatu bernama
Mah Bongsu. Ia menjadi pembantu rumah tangga dari seorang majikan
bernama Mak Piah. Mak Piah mempunyai seorang putri bernama Siti Mayang.
Pada suatu hari, Mah Bongsu mencuci pakaian majikannya di sebuah sungai.
Ular! teriak Mah Bongsu ketakutan ketika melihat seekor ulat mendekat.
Ternyata ular itu tidak ganas, ia berenang ke sana ke mari sambil
menunjukkan luka di punggungnya. Mah Bongsu memberanikan diri mengambil
ular yang kesakitan itu dan membawanya pulang ke rumah.
Mah Bongsu merawat ular tersebut hingga sembuh. Tubuh ular tersebut
menjadi sehat dan bertambah besar. Kulit luarnya mengelupas sedikit demi
sedikit. Mah Bongsu memungut kulit ular yang terkelupas itu, kemudian
dibakarnya. Ajaib, setiap Mah Bongsu membakar kulit ular, timbul asap
besar. Jika asap mengarah ke Negeri Singapura, maka tiba-tiba terdapat
tumpukan emas berlian dan uang. Jika asapnya mengarah ke negeri Jepang,
mengalirlah berbagai alat elektronik buatan Jepang. Dan bila asapnya
mengarah ke kota Bandar Lampung, datang berkodi-kodi kain tapis Lampung.
Dalam tempo dua, tiga bulan, Mah Bongsu menjadi kaya raya jauh melebihi
Mak Piah Majikannya.Kekayaan Mah Bongsu membuat orang bertanya-tanya. Pasti Mah Bongsu memelihara tuyul, kata Mak Piah. Pak Buntal pun menggarisbawahi pernyataan istrinya itu. Bukan memelihara tuyul! Tetapi ia telah mencuri hartaku! Banyak orang menjadi penasaran dan berusaha menyelidiki asal usul harta Mah Bongsu. Untuk menyelidiki asal usul harta Mah Bongsu ternyata tidak mudah. Beberapa dari orang dusun yang penasaran telah menyelidiki berhari-hari namun tidak dapat menemukan rahasianya.
Yang penting sekarang ini, kita tidak dirugikan, kata Mak Ungkai kepada tetangganya. Bahkan Mak Ungkai dan para tetangganya mengucapkan terima kasih kepada Mah Bongsu, sebab Mah Bongsu selalu memberi bantuan mencukupi kehidupan mereka sehari-hari. Selain mereka, Mah Bongsu juga membantu para anak yatim piatu, orang yang sakit dan orang lain yang memang membutuhkan bantuan. Mah Bongsu seorang yang dermawati, sebut mereka.
Mak Piah dan Siti Mayang, anak gadisnya merasa tersaingi. Hampir setiap malam mereka mengintip ke rumah Mah Bongsu. Wah, ada ular sebesar betis? gumam Mak Piah. Dari kulitnya yang terkelupas dan dibakar bisa mendatangkan harta karun? gumamnya lagi. Hmm, kalau begitu aku juga akan mencari ular sebesar itu, ujar Mak Piah.
Mak Piah pun berjalan ke hutan mencari seekor ular. Tak lama, ia pun mendapatkan seekor ular berbisa. Dari ular berbisa ini pasti akan mendatangkan harta karun lebih banyak daripada yang didapat oleh Mah Bongsu, pikir Mak Piah. Ular itu lalu di bawa pulang. Malam harinya ular berbisa itu ditidurkan bersama Siti Mayang. Saya takut! Ular melilit dan menggigitku! teriak Siti Mayang ketakutan. Anakku, jangan takut.
Bertahanlah, ular itu akan mendatangkan harta karun, ucap Mak Piah.
Sementara itu, luka ular milik Mah Bongsu sudah sembuh. Mah Bongsu semakin menyayangi ularnya. Saat Mah Bongsu menghidangkan makanan dan minuman untuk ularnya, ia tiba-tiba terkejut. Jangan terkejut. Malam ini antarkan aku ke sungai, tempat pertemuan kita dulu, kata ular yang ternyata pandai berbicara seperti manusia. Mah Bongsu mengantar ular itu ke sungai. Sesampainya di sungai, ular mengutarakan isi hatinya. Mah Bongsu, Aku ingin membalas budi yang setimpal dengan yang telah kau berikan padaku, ungkap ular itu. Aku ingin melamarmu untuk menjadi istriku, lanjutnya. Mah Bongsu semakin terkejut, ia tidak bisa menjawab sepatah katapun. Bahkan ia menjadi bingung.
Ular segera menanggalkan kulitnya dan seketika itu juga berubah wujud menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa. Kulit ular sakti itu pun berubah wujud menjadi sebuah gedung yang megah yang terletak di halaman depan pondok Mah bongsu. Selanjutnya tempat itu diberi nama desa Tiban asal dari kata ketiban, yang artinya kejatuhan keberuntungan atau mendapat kebahagiaan.
Akhirnya, Mah Bongsu melangsungkan pernikahan dengan pemuda tampan tersebut. Pesta pun dilangsungkan tiga hari tiga malam. Berbagai macam hiburan ditampilkan. Tamu yang datang tiada henti-hentinya memberikan ucapan selamat.
Dibalik kebahagian Mah Bongsu, keadaan keluarga Mak Piah yang tamak dan loba sedang dirundung duka, karena Siti Mayang, anak gadisnya meninggal dipatuk ular berbisa.
Konon, sungai pertemuan Mah Bongsu dengan ular sakti yang berubah wujud menjadi pemuda tampan itu dipercaya sebagai tempat jodoh. Sehingga sungai itu disebut Sungai Jodoh.





No comments:
Post a Comment